"Pangkuan Abraham" (bahasa Inggris: Bosom of Abraham) mengacu pada tempat penghiburan dalam Sheol Biblika (atau Hades dalam versi Septuaginta Yunani kitab suci Ibrani dari sekitar tahun 200 SM, sebagaimana dideskripsikan dalam Perjanjian Baru)[1] sebagai kediaman orang-orang yang dibenarkan ketika menantikan Hari Penghakiman.
Frasa dan konsep ini ditemukan dalam Yudaisme dan Kekristenan serta karya seni keagamaan.
Kata yang ditemukan dalam teks Yunani untuk "bosom" adalah kolpos, yang berarti "pangkuan", "teluk".[2] Hal ini berkaitan dengan praktik berbaring dan menyantap makanan di dekat tamu-tamu lain pada periode Bait Kedua, yang terdekat secara fisik dengan orang tersebut dikatakan berbaring/bersandar di pangkuan atau dadanya. (lih. Yohanes 13:23)[3][4]
Pada umumnya para komentator setuju dengan makna dari frasa "Pangkuan Abraham", namun mereka tidak setuju dengan asal-usulnya. Hingga zaman Maldonatus (tahun 1583 M), frasa ini dianggap berasal[butuh rujukan] dari kebiasaan umum para orang tua menaruh anak-anak mereka dalam pelukan kedua tangan mereka, atau menempatkannya di atas kedua lutut mereka, ketika anak-anak tersebut lelah, atau kembali ke rumah, dan membuatnya beristirahat di sisi mereka pada waktu malam hari (lih. 2 Samuel 12:3;[5] 1 Raja-Raja 3:20, 17:19; Lukas 11:7 dll.), sehingga menyebabkan anak-anak mereka menikmati istirahat dan rasa aman dalam pangkuan orang tua yang mencintainya. Dengan cara demikian, Abraham dianggap berlaku serupa pada anak-anaknya setelah mengalami keletihan dan kesulitan dalam kehidupan di dunia ini, karenanya ungkapan metaforis "duduk di pangkuan [Abraham]" diartikan sebagai beristirahat dan berbahagia bersamanya.[butuh rujukan]
Menurut Maldonatus (1583),[6] yang teorinya sejak saat itu diterima oleh banyak akademisi, metafora "duduk di pangkuannya" (Abraham) berasal dari kebiasaan berbaring pada dipan di depan meja, yang dipraktikkan di antara masyarakat Yahudi selama dan sebelum zaman Yesus. Karena pada waktu pesta masing-masing tamu menyandarkan siku kirinya dan membuat lengan kanannya bebas, dan karena dua atau lebih tamu berbaring di atas dipan atau semacam sofa yang sama, kepala salah seorang di antaranya akan berada di dekat dada orang yang berada di belakangnya, dan oleh sebab itu ia dikatakan "berbaring" atau "bersandar" di "pangkauan" atau "dada" yang lainnya.
Kaum Yahudi tempo dulu juga memandangnya sebagai suatu tanda dukungan dan kehormatan khusus bagi seseorang jika diizinkan berbaring/bersandar di pangkuan tuan pesta (lih. Yohanes 13:23), dan penggambaran ini digunakan mereka untuk membayangkan dunia yang akan datang. Mereka memahami ganjaran yang diterima arwah orang yang dibenarkan sebagai berbagi dalam perjamuan yang sama yang disajikan oleh Abraham, "bapa orang beriman" (lih. Matius 8:11 dll.), dan bentuk tertinggi ganjaran tersebut adalah berbaring/bersandar dalam "Pangkuan Abraham".
Dalam Yudaisme Bait Pertama, Sheol dalam Perjanjian Lama Ibrani, atau Hades dalam Septuaginta, utamanya adalah suatu tempat "kesunyian" di mana semua orang akan memasukinya. Bagaimanapun, selama, atau sebelum, pembuangan Babel, gagasan-gagasan mengenai aktivitas arwah pada Sheol mulai diterima dalam Yudaisme.[7][8]
Selama periode Bait Kedua (kira-kira tahun 500 SM–70 M), suatu konsep tentang Pangkuan Abraham pertama kali terlihat dalam papirus Yahudi yang mengacu pada "Pangkuan Abraham, Ishak, dan Yakub".[9] Hal ini mencerminkan kepercayaan para martir Yahudi yang wafat dengan harapan bahwa: "setelah kematian kita dengan cara ini, Abraham, Ishak, dan Yakub akan menerima kita, dan semua leluhur kita akan memuji kita" (4 Makabe 13:17).[10] Karya Yahudi awal lainnya mengadaptasi gambaran mitos Yunani mengenai Hades untuk mengidentifikasi keterpisahan arwah yang dibenarkan dari arwah yang tidak dibenarkan dalam api dengan suatu sungai atau jurang. Dalam Apokalipsis Zefanya, suatu karya pseudopigrafa, di sungai tersebut terdapat seorang tukang perahu yang dapat disetarakan dengan Kharon dalam mitos Yunani, namun diganti dengan seorang malaikat. Di lain pihak, dalam Pangkuan Abraham: "Engkau telah terlepas dari Jurang Maut dan Dunia Orang Mati, sekarang engkau akan menyeberangi tempat penyeberangan... menuju [kediaman] semua orang yang dibenarkan, yaitu Abraham, Ishak, Yakub, Henokh, Elia, dan Daud."[11] Dalam kisah itu, Abraham tidak diam dalam Pangkuan Abraham, namun ia bertindak sebagai perantara bagi mereka yang berada dalam bagian Hades ("dunia orang mati") yang memiliki api bernyala-nyala.[12]
Suatu karya pseudopigrafa yang dikenal sebagai Kitab Henokh mendeskripsikan perjalanan melintasi kosmos dan membagi Sheol menjadi 4 bagian: untuk arwah yang sungguh dibenarkan, yang baik, yang fasik yang sedang menantikan penghakiman saat kebangkitan, dan yang fasik yang bahkan tidak akan dibangkitkan. Namun, karena kitab itu diatribusikan pada Henokh, yang mendahului Abraham, maka sama sekali tidak mengandung sosok Abraham.
Sumber-sumber kerabian di kemudian hari mempertahankan beberapa jejak ajaran Pangkuan Abraham.[13][14] Dalam Kiddushin 72b, Adda bar Ahavah abad ketiga dikatakan "duduk di pangkuan Abraham", demikian pula "dalam dunia yang akan datang Abraham duduk di pintu gerbang Gehenna, menghalangi siapa pun yang mengenakan meterai perjanjian untuk memasukinya" menurut Rabi Levi dalam Bereshith Rabba 67.[15] Pada tahun 1860-an, Abraham Geiger mengemukakan bahwa perumpamaan Lazarus dalam Lukas 16 melestarikan suatu legenda Yahudi dan bahwa Lazarus merepresentasikan hamba Abraham yang bernama Eliezer.[16]
Frasa "Pangkuan Abraham" hanya terdapat dalam satu perikop Perjanjian Baru, yaitu perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus, dalam Injil Lukas (16:19–31; lih. Lukas 16:22 dan 16:23). Lazarus, yang kemungkinan berpenyakit kusta, dibawa oleh para malaikat ke pangkuan Abraham setelah wafatnya. Pangkuan Abraham dikontraskan dengan destinasi orang kaya yang berakhir dalam Hades ("alam maut"). Laporan tersebut berkaitan erat dengan keyakinan Yahudi abad ke-1 M yang terdokumentasikan (lihat di atas), bahwa orang yang meninggal dunia dikumpulkan dalam suatu tempat penantian umum, disetarakan dengan Sheol dalam Perjanjian Lama. Dalam laporan terkait Kristus itu, mereka yang dibenarkan menempati suatu kediaman tersendiri, terpisah oleh suatu jurang dari kediaman mereka yang fasik. Jurang tersebut dapat disetarakan dengan sungai dalam versi Yahudi, tetapi dalam versi Kristus tidak terdapat malaikat sebagai tukang perahu, dan penyeberangan dari satu sisi ke sisi lainnya tidak memungkinkan.
Bagian Hades dengan api bernyala-nyala (Sheol Ibrani) dibedakan dari konsep Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Mishnah, yang terpisah mengenai Gehenna (Hinom Ibrani), yang umumnya terkait dengan Penghakiman terakhir. (Matius 5:29–30, 18:9 dst.; Markus 9:42)[17]
Konsep mengenai firdaus tidak disebutkan dalam Lukas 16, juga tidak terdapat asosiasi Yahudi apa pun tentang firdaus seperti "Tingkat yang ketiga dari surga" (ditemukan dengan "firdaus" dalam 2 Korintus 12:2–4 dan Apokalipsis Musa), ataupun pohon kehidupan (ditemukan dengan "firdaus" dalam Kejadian 2:8 dan Wahyu 2:7).[18] Akibatnya terdapat perdebatan seputar identifikasi Pangkuan Abraham dengan Firdaus.[19] Tidak jelas apakah Matius 8:11 ("Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga") merepresentasikan suatu kosmologi komplimen atau alternatif terhadap gagasan-gagasan dalam Lukas 16:19–31.[20]
Pada abad ke-3, Hippolitus dari Roma menyebut pangkuan Abraham sebagai kediaman dalam hades tempat orang yang dibenarkan menantikan hari penghakiman dengan gembira.[21] Karena suatu kesalahan penyalinan, sebuah bagian lepas dari komentar Hippolitus tentang Lukas 16 salah diidentifikasi sebagai Diskursus kepada Orang Yunani tentang Hades karya Yosefus dan dimasukkan dalam Karya Lengkap Yosefus terjemahan William Whiston.[22]
Agustinus dari Hippo, salah seorang Bapa Gereja, juga menyebut arwah yang dibenarkan sebagai roh tanpa tubuh yang dengan gembira menantikan Hari Penghakiman dalam penampungan-penampungan rahasia.[23]
Karena, sebelum Hari Penghakiman, arwah yang dibenarkan menerima ganjaran dalam pangkuan Abraham, maka keyakinan ini merupakan suatu bentuk konsekuensi dari penghakiman khusus.
Di antara kalangan penulis Kristen, sejak abad ke-1 M, "Pangkuan Abraham" secara bertahap tidak lagi menandakan suatu tempat kebahagiaan yang tidak sempurna, khususnya dalam tradisi Katolik Barat, dan umumnya diidentikkan dengan Surga Kristen itu sendiri, atau juga "keadaan antara".[butuh rujukan] Para Bapa Gereja terkadang menggunakan istilah ini untuk memaksudkan Limbo Para Bapa, kediaman orang yang dibenarkan yang wafat sebelum Kristus dan belum diterima di surga hingga saat kebangkitan-Nya. Terkadang mereka memaksudkan Surga,[butuh rujukan] yang dimasuki orang-orang "Perjanjian Baru" yang dibenarkan segera setelah mereka wafat. Di sisi lain, Tertulianus mendeskripsikan pangkuan Abraham sebagai bagian dari Hades tempat arwah yang dibenarkan menantikan hari Tuhan.[24]
Ketika umat Kristen berdoa agar para malaikat mengantar jiwa yang berpulang ke "Pangkuan Abraham", umat Kristen non-Ortodoks mungkin mengartikannya sebagai surga; sebagaimana diajarkan di Barat bahwa orang-orang dalam Limbo Para Bapa memasuki surga setelah Kenaikan Yesus Kristus, dan dengan demikian Abraham sendiri saat ini telah berada dalam surga. Bagaimanapun, pemahaman Ortodoksi Timur dan Ortodoksi Oriental membedakan Pangkuan Abraham dengan surga.[25]
Keyakinan bahwa jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia segera pergi menuju neraka, surga, ataupun purgatorium, merupakan ajaran Kekristenan Barat. Keyakinan itu berbeda dengan konsep Pangkuan Abraham dalam Kekristenan Timur.[25]
Martin Luther menganggap alegoris perumpamaan ini. Mortalisme Kristen, yang lazim dianut kalangan Advent Hari Ketujuh, adalah keyakinan bahwa orang yang telah meninggal dunia, baik yang dibenarkan maupun tidak, beristirahat dalam keadaan tidak sadar sambil menantikan Penghakiman.
Dalam seni Kristen abad pertengahan, fase ini diilustrasikan secara harfiah: citra sejumlah sosok mini, yang merepresentasikan jiwa-jiwa, berada pada pangkuan suatu sosok yang jauh lebih besar yang terlihat pada beragam konteks. Banyak katedral Gotik, terutama di Prancis, memiliki relief-relief Abraham sedang memegang suatu himpunan tersebut (gambar di kanan), yang juga dapat ditemukan dalam medium lainnya. Dalam sebuah miniatur tersendiri dari sekitar tahun 1150, yang diambil dari salah satu karya tulis Hildegardis dari Bingen, suatu sosok berpenampilan muda dengan mata tertutup yang biasanya dideskripsikan sebagai "Sinagoge", memegang suatu himpunan jiwa-jiwa Yahudi, dengan Musa yang sedang membawa Loh-Loh Batu berada di atas yang lainnya, dipegang dalam lengan-lengan terlipat dari sosok yang besar itu.[26] Dalam Trinitas Pangkuan Abraham, suatu subjek yang hanya ditemukan dalam karya seni Inggris abad pertengahan, Allah Bapa memegang himpunan tersebut, yang saat ini secara khusus dipandang merepresentasikan jiwa-jiwa Kristen. Perawan Kerahiman merupakan suatu subjek yang berbeda namun penggambarannya agak mirip.