Parahyangan (bahasa Sunda: ᮕᮛᮠᮡᮍᮔ᮪, translit. Parahyangan), disebut juga sebagai Priangan atau Preanger (bahasa Belanda: Preanger), adalah wilayah geobudaya dan pegunungan yang berpusat di provinsi Jawa Barat di Pulau Jawa, Indonesia.[1]
Di sebelah barat, wilayah ini berbatasan dengan provinsi Banten, sebelah utara berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dan wilayah pesisir utara Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Sungai Pemali dan Serayu di provinsi Jawa Tengah, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.
Nama "Parahyangan" berasal dari Bahasa Sunda yang berarti "tempat tinggal para hyang (dewa)". Parahyangan secara spesifik adalah daerah sekitar pegunungan di selatan Jawa Barat dimana orang Sunda terdahulu mempercayai gunung-gunung sebagai tempat bersemayamnya para dewa.[2]
Legenda Sangkuriang dalam budaya Sunda berisi catatan mengenai danau purba prasejarah di dataran tinggi cekungan Bandung, yang menunjukkan bahwa orang Sunda sudah mendiami wilayah tersebut sejak zaman batu.[3] Pepatah dan legenda Sunda populer lainnya menyebutkan tentang terciptanya dataran tinggi Parahyangan terjadi ketika para hyang (dewa) sedang tersenyum, yang secara tersirat menunjukkan keindahan alam di wilayah ini.[4]
Salah-satu layanan kereta api antarkota dari PT KAI untuk rute Jakarta dan Bandung dinamakan kereta api Parahyangan. Sejak bulan April 2010, layanan kereta api ini digabung dengan layanan Argo Gede menjadi Argo Parahyangan.[5]
Wilayah Parahyangan telah menjadi rumah bagi manusia purba sejak zaman prasejarah (setidaknya sejak 9500 SM).[6] Ada beberapa temuan arkeologi prasejarah pemukiman manusia purba, di gua Pawon di kawasan karst Padalarang, Bandung Barat, dan di sekitar danau Bandung purba.[7][8]
Reruntuhan Candi Bojongmenje yang ditemukan di daerah Rancaekek, sebelah timur Kota Bandung menunjukkan bahwa candi ini dibangun dari awal abad ke-7 masehi, sekitar periode yang sama atau bahkan lebih awal dari candi Dieng di Jawa Tengah.[9]
Rujukan sejarah tertua yang tertulis di wilayah Parahyangan berasal dari sekitar abad ke-14, ditemukan dalam Prasasti Cikapundung, di mana wilayah tersebut pernah menjadi salah satu pemukiman dalam wilayah Kerajaan Sunda.[10] Parahyangan adalah bagian dari Kerajaan Sunda dan Galuh yang lampau, dimana kedua kerajaan tersebut dibatasi oleh Sungai Citarum.[11] Di masa kerajaan Hindu-Buddha, wilayah pegunungan di pedalaman Parahyangan dianggap sebagai tempat suci dalam kepercayaan Sunda Wiwitan. Terdapat bebrapa kabuyutan (pusat keagamaan) atau mandala (pusat suci) yang disebutkan dalam teks Sunda kuno dan terletak di beberapa tempat di dataran tinggi Parahyangan, dimana salah-satu letaknya mungkin berada di Jayagiri, sebelah utara Kota Bandung di lereng Gunung Tangkuban Parahu.[12]
Setelah jatuhnya Kerajaan Sunda di abad ke-16, sebagian besar Parahyangan masuk dalam wilayah Kerajaan Sumedang Larang, dengan pengecualian daerah sebelah barat Sungai Cisadane yang dikuasai Kesultanan Banten serta daerah Galuh dan Talaga yang dikuasai Kesultanan Cirebon.[13][14] Kedua kesultanan tersebut sepakat untuk membagi pengaruh di Parahyangan dengan sungai Citarum sebagai batasnya.[15] Pada tahun 1617, Sultan Agung dari Mataram melancarkan kampanye militer di seluruh Jawa dan mengajak Kesultanan Cirebon untuk bergabung dengan Mataram. Pada tahun 1618, pasukan Mataram menaklukkan Ciamis, lalu Sumedang Larang dibawah raja Kusumadinata III menyatakan bergabung dengan Mataram di tahun 1620.[16] sehingga Mataram menguasai sebagian besar wilayah Parahyangan. Wilayah ini lalu diperintah oleh para pangeran ménak (bangsawan Sunda di era Mataram) seperti dari Cianjur, Sumedang, dan Ciamis.[17] Para pangeran ini kekuasaanya diakui oleh Mataram sebagai pewaris sah daerahnya masing-masing dikarenakan adanya klaim bahwa mereka masih keturunan dari raja-raja Sunda seperti Prabu Siliwangi.[18] Meskipun kekuasaan yang dominan di bagian barat pulau Jawa saat itu dipegang oleh Kesultanan Banten dan Cirebon, para bangsawan Sunda di dataran tinggi Parahyangan relatif menikmati kebebasan dan otonomi internal karena adanya pengakuan dan perlindungan dari Mataram. Namun bersamaan dengan berkuasanya Mataram di wilayah ini, Pengaruh budaya Jawa di Parahyangan mulai masuk dan bercampur dengan budaya asli di wilayah ini.
Pada tahun 1630 Sultan Agung mendeportasi penduduk asli Parahyangan ke timur setelah ia dapat menumpas pemberontakan Dipati Ukur di daerah tersebut.[19] Dipati Ukur adalah pemimpin daerah Tatar Ukur (Cekungan Bandung) yang memberontak terhadap Mataram setelah penyerbuan Mataram atas Batavia yang kedua kali mengalami kegagalan.[20]
Kesultanan Mataram terlibat perebutan wilayah di Parahyangan dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang berpusat di Batavia. Mataram secara bertahap melemah setelah melalui Konflik suksesi para pangeran Jawa dan keterlibatan VOC dalam urusan internal istana Mataram. Untuk mengamankan posisinya, raja Mataram saat itu Pakubuwana I membuat konsesi yang signifikan dengan VOC melalui Perjanjian tahun 1705 dimana Mataram menyerahkan banyak wilayahnya yang semula ditaklukan oleh kakeknya Sultan Agung, termasuk Parahyangan sebagai imbalan kepada VOC yang telah membantu menumpas Pemberontakan Trunajaya.[21] Oleh karenanya sejak awal abad ke-18, Parahyangan berada di bawah kekuasaan Belanda, dimana kebijakan tanam paksa di wilayah ini yang dikenal dengan nama Preangerstelsel mulai diberlakukan VOC di tahun 1720.[22][23]
Setelah Parahyangan berpindah kuasa kepada Belanda, wilayah ini lalu mulai dikenal sebagai De Preanger pada masa pemerintahan kolonial. Parahyangan menjadi suatu keresidenan tersendiri di tahun 1818 dengan ibu kotanya yang mula-mula terletak di Tjiandjoer (Cianjur) yang kemudian dipindahkan ke Bandung setelah adanya banyak gempa dan terjadinya letusan Gunung Gede di tahun 1864.[24] Bandung sebagai ibu kota keresidenan baru lambat laun berkembang menjadi pusat pemukiman yang penting.[25] Pada abad ke-19, Belanda telah menguasai sebagian besar Jawa. Melalui adanya pembangunan Jalan Raya Pos oleh Daendels yang menghubungkan kawasan perkebunan Preanger dengan pelabuhan Batavia dan banyak daerah lain di Jawa, Preanger menjadi wilayah yang terbuka untuk investasi, eksploitasi, dan bisnis.[26] Keresidenan Preanger lalu menjadi kawasan perkebunan yang penting dan produktif di zaman Hindia Belanda yang menghasilkan kopi, teh, kina, dan banyak tanaman komersial yang menguntungkan banyak pemilik perkebunan Belanda yang dikenal dengan nama Preanger Planters.[16][27]
Kopi Jawa yang dikenalkan ke seluruh dunia oleh Belanda, sebenarnya adalah kopi yang ditanam di wilayah Preanger. Pada awal abad ke-20, Bandung berkembang menjadi pemukiman penting dan kota terencana. Bandung sebelum perang dirancang sebagai ibu kota baru Hindia Belanda, meskipun Perang Dunia II mengakhiri rencana ini. Setelah Indonesia merdeka, Parahiyangan dianggap sebagai nama sejarah yang romantis untuk kawasan pegunungan di Jawa Barat yang mengelilingi Bandung.
Wilayah Parahyangan yang sesungguhnya meliputi hampir seluruh dataran tinggi di Jawa Barat. Tetapi karena perbedaan segi dialek dan budaya maka wilayah Parahiyangan saat ini umumnya meliputi pegunungan tengah dan selatan Jawa Barat saja. Wilayah yang umumnya dimasukkan kedalam Parahiyangan adalah Bandung Raya (meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi), Cianjur, Sukabumi, sebagian Bogor, Purwakarta, Sumedang, Indramayu barat daya, Ciamis, Banjar, Subang selatan, Garut, sebagian kecil Majalengka barat, Tasikmalaya serta Pangandaran.
Sesuai dengan namanya, kawasan ini mempunyai banyak gunung ternama seperti Tangkuban Perahu (Bandung Barat, Subang), Ciremai (Kuningan, Majalengka), Gede-Pangrango (Sukabumi, Bogor, Cianjur), Salak (Bogor, Sukabumi), Cikuray (Garut), dan Papandayan (Garut).