Paruman Agung adalah parlemen regional Bali pada tahun 1938 hingga 1950.
Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pada 1 Juli 1938, delapan kerajaan di Bali didirikan kembali. Dua hari sebelumnya, pada 29 Juni 1938, diadakan pelantikan raja-raja Bali di Pura Besakih.[1] Raja-raja dari delapan kerajaan menjadi anggota dari Paruman Agung yang diresmikan pada 30 September 1938.[2]
Pada era ini, Paruman Agung terdiri dari sembilan anggota, termasuk perwakilan daerah yang berasal dari Lombok, Bali, dan delapan anggota lainnya. Setiap raja didampingi oleh dua orang penasihat. Paruman Agung juga memiliki sekretaris yang ditunjuk oleh anggota dan disetujui oleh perwakilan daerah.[2]
Pada masa pendudukan Jepang, Paruman Agung memasuki masa reses. Tidak ada perubahan struktural pada masa ini.[1]
Setelah kemerdekaan Negara Indonesia, pemerintah mulai membentuk pemerintah daerah di Bali. Provinsi Sunda Kecil dibentuk dan ibu kotanya terletak di Singaraja. Pada 18 Agustus 1945, Presiden Soekarno menunjuk Ida Bagus Putra Manuaba sebagai perwakilan Provinsi Sunda Kecil dalam Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada 22 Agustus 1945, Presiden Sukarno menunjuk I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil. Pada 23 Agustus 1945, I Gusti Ketut Pudja kembali ke Bali dan mendiskusikan masa depan Bali dan struktur politiknya.[3]
I Gusti Ketut Pudja berjanji bahwa kerajaan-kerajaan di Bali akan diatur oleh Komite Nasional Indonesia Daerah yang bekerja sama dengan raja-raja, dan pemerintahan Bali akan diatur oleh Komite Nasional Indonesia Sunda Kecil yang bekerja sama dengan Gubernur Sunda Kecil. Walaupun I Gusti Ketut Pudja merasa pembagian kekuasaan antara kerajaan dan negara sudah adil,[3] sejumlah raja merasa keberatan dan tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah Indonesia.
Pada bulan Oktober 1946 sampai Februari 1946, Belanda mengutus perwakilan ke Bali melalui AMACAB (Allied Military Administration-Civil Affairs Branch). AMACAB menjanjikan raja-raja Bali bahwa mereka akan mendapatkan kekuasaan penuh jika tidak mengakui kemerdekaan Negara Indonesia, dan mendukung Belanda.[4] Aliansi antara perwakilan Belanda dan raja-raja Bali membuat posisi pemerintah Indonesia melemah. Pada 29 Januari 1946, I Gusti Ketut Pudja menyerahkan kekuasaan pada Dewan Raja-Raja.
Pada 4 Februari 1946, struktur keanggotaan Paruman Agung dirubah, dengan tambahan 28 anggota, dan penghapusan perwakilan daerah Lombok dan Bali. Keseluruhan anggota Paruman Agung adalah 36 orang, dan Anak Agung Nyoman Pandji Tisna, Raja Buleleng, ditunjuk sebagai juru bicara dan I Gusti Bagus Oka ditunjuk sebagai sekretaris.[2]
Pada 4 Juni 1946, Ketua AMACAB memanggil Paruman Agung dalam rapat di Denpasar, Bali. Rapat tersebut mendiskusikan Konferensi Malino dan Paruman Agung harus mengirim dua perwakilan. Tjokorda Gede Raka Soekawati dan I Gusti Bagus Oka ditunjuk sebagai perwakilan dan didampingi oleh tiga orang penasihat, Pandji Tisna, Ida Anak Agung Gde Agung, dan Gede Panetja.[2]
Paruman Agung memutuskan bahwa Bali harus menjadi sebuah negara bagian di dalam Republik Indonesia Serikat. Ketua konferensi Hubertus van Mook, menolak dan menyatakan bahwa Bali harus dimasukkan ke dalam Negara Indonesia Timur.
Pada 4 November 1946, Paruman Agung menggelar pemilihan untuk menunjuk perwakilan untuk Konferensi Denpasar. Konferensi Denpasar menghasilkan pembentukan Negara Indonesia Timur pada 24 Desember 1946. Soekawati ditunjuk sebagai Presiden Negara Indonesia Timur.[2][3]
Pada 28 Desember 1946, Paruman Agung menggelar rapat dengan agenda pembentukan undang-undang pemilihan parlemen.[2] Raja-raja Paruman Agung membentuk Dewan Raja-raja.[2] Menurut hukum, Paruman Agung bisa menyusun undang-undang, dan juru bicara Paruman Agung akan ditunjuk oleh anggota.[2][3]
|title=
pada posisi 139 (bantuan)
|title=
pada posisi 41 (bantuan)