Singkatan | PERTI |
---|---|
Pendahulu | Ittihad Ulama Sumatera |
Tanggal pendirian | 5 Mei 1928 |
Pendiri | Syekh Sulaiman ar-Rasuli; Syekh Muhammad Jamil Jaho; Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi; Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh; |
Didirikan di | Canduang, Agam |
Tipe | Organisasi massa Islam |
Kantor pusat | Jalan Paseban Raya No. 11 A, Jakarta Pusat, Jakarta |
Drs. H. Muhammad Syarfi Hutauruk, MM | |
Sekretaris Jenderal | Drs. Zulhendri Chaniago, MM |
Anak organisasi | |
Tribhakti : Pendidikan, Dakwah dan Sosial |
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)[1] (Jawi: ڤرستوان تربيه اسلاميه; bahasa Arab: اتحاد التربية الإسلامية Ittiḥād at-Tarbiyah al-Islāmīyah) adalah organisasi massa Islam di Indonesia yang berhaluan Syafii-Asy'ari. Cikal bakal organisasi ini berawal dari Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli pada 5 Mei 1928 M atau 15 Zulqaidah 1346 H di Canduang, Agam, Sumatera Barat dan dalam perkembangannya sempat menjadi partai politik bernama Partai Islam PERTI. Dalam pemilihan umum 1955, Partai Islam PERTI mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh kursi Konstituante.
Cikal bakal Persatuan Tarbiyah Islamiyah berawal dari perubahan sistem pendidikan dari surau ke madrasah yang ditandai dengan berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung pada 5 Mei 1928 oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli gelar Inyiak Canduang, MTI Jaho oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho, MTI Tabek Gadang oleh Syekh Abdul Wahid ash-Shalihi dan MTI Batu Hampar oleh Syekh Muhammad Arifin al-Arsyadi yang juga didirikan pada hari yang sama.
Pendirian empat MTI dimaksudkan sebagai upaya modernisasi lembaga pendidikan Kaum Tua (tradisionalis) dan merupakan usulan Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh. Sebelumnya, Syekh Abbas Qadhi telah memulai upaya ini dengan mendirikan Arabiyah School di Ladang Lawas pada 1918 dan Islamiyah School di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada 1924 untuk menandingi gencarnya gerakan pengembangan lembaga pendidikan milik Kaum Muda (modernis) di Sumatera Barat.[2] Selain Syekh Abbas, sistem madrasah juga pernah dilakukan oleh murid Inyiak Canduang sendiri yaitu Syekh Darwis al-Majidi yang mendirikan Tarbiyah School di Tabek Lumpu, Baso, Agam pada 1918.
Sepulangnya Inyiak Canduang ke kampung halamannya di Candung setelah belajar di Makkah. Pada 1908, Inyiak Canduang mengadakan pengajian di Surau Baru dengan membentuk halakah sebagaimana yang umum berlaku di Minangkabau waktu itu. Kemudian, ia merubah sistem halakah Surau Baru menjadi sistem klasikal dengan nama MTI Canduang pada 5 Mei 1928.[3]
Setelah kemunculan MTI Canduang dan beberapa MTI lainnya di Sumatera Barat, Inyiak Canduang kemudian mendirikan organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) untuk menghubungkan MTI-MTI tersebut. Sebelumnya, ulama-ulama Kaum Tua di Sumatra Tengah pernah berhimpun di dalam organisasi bernama Ittihad Ulama Sumatera yang didirikan pada 1921 oleh Syekh Abbas Qadhi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Organisasi ini kemudian dipimpin oleh Syekh Muhammad Saad Mungka.[4]
Pada 1918, Syekh Hasan Basri Maninjau yang merupakan de Commisaris Ittihad Ulama Sumatera menerbitkan majalah Al-Mizan melalui Penerbit Syarikatul Ihsan Maninjau. Majalah al-Mizan, selain berisi karangan-karangan mengenai agama, juga memuat pertanyaan dan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu berasal dari pembaca al-Mizan dari berbagai daerah. Pertanyaan ini dijawab oleh Majelis Tarjih Ittihadul Ulama Sumatera yang terdiri dari beberapa ulama seperti Syekh Muhammad Saad Mungka, Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Muhammad Nur Bayur Maninjau, Syekh Abdullah Maninjau, Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Makhudum Tanjuang Bingkuang Solok.
Setelah Al-Mizan berhenti terbit, Ittihad Ulama Sumatera sempat menerbitkan majalah Ar-Radd wal-Mardud di Ladang Laweh pada 1921. Majalah tersebut tercatat diasuh oleh Sirajuddin Abbas (sebagai kepala redaktur) dan Mustafa Salim. Majalah ini terbit hingga tahun 1926. Setelah Syekh Saad Mungka meninggal pada tahun 1923, organisasi Ittihad Ulama Sumatera pun menjadi padam.
Atas anjuran Syekh Abbas Qadhi dan Demang Datuk Batuah, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli merubah surau baru Canduang menjadi madrasah pada tahun 1928. Awalnya diusulkan nama Tarbiyah ath-Thullab untuk nama madrasah baru tersebut. Namun karena mirip Sumatera Thawalib, maka istilah itu diganti menjadi Tarbiyah Islamiyah. Inyiak Canduang kemudian mengundang beberapa ulama Kaum Tua yang sebelumnya tergabung dalam Ittihad Ulama Sumatera untuk menghadiri pertemuan sekaligus peresmian MTI Canduang pada 5 Mei 1928.
Di antara yang hadir dalam pertemuan tersebut termasuk Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Arifin al-Arsyadi Batuhampar, Syekh Abdul Majid Koto Nan Gadang, Syekh Abdul Wahid as-Shalihi Tabek Gadang, Syekh Jalaluddin Sicincin, Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak, Tuanku Alwi Koto Nan Ampek, Syekh Makhudum Tanjung Bingkung Solok, Syekh Adam Palembayan, Syekh Muhammad Zain Simabur, Syekh Hasan Basri Maninjau, Syekh Muhammad Said Bonjol, Syekh Ahmad Baruah Gunuang-Suliki dan Buya Muhammad Sutan Sulaiman.
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang memimpin pertemuan tersebut membahas pentingnya mempertahankan i'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan Mazhab Syafi'i. Apalagi ditengah maraknya gerakan kaum muda. Akhirnya para ulama yang hadir dalam pertemuan tersebut berhasil menyatukan visi dan melahirkan gagasan bersama mengubah sistem surau menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Pada tahap awal dibentuklah MTI Canduang, MTI Jaho, MTI Tabek Gadang dan MTI Batu Hampar.
Setelah itu dibentuk organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) sebagai wadah pemersatu yang bertanggungjawab untuk membina, memperjuangkan dan mengembangkan MTI. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli kemudian ditunjuk sebagai Direktur Pendidikan PMTI. Setelah kemudian terbentuk MTI-MTI di berbagai tempat, Inyiak Canduang selaku Direktur Pendidikan PMTI kemudian mengundang para ulama kaum tua untuk membicarakan masa depan MTI dalam Rapat Besar di Surau Tangah, Candung pada 19–20 Mei 1930.[5]
Rapat Besar di Bukittinggi tahun 1930 tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mengubah nama organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI)[6]. Sulthani Abdullah saat itu terpilih sebagai ketua (Voorzitter), Syekh Alwi Koto Nan Ampek sebagai wakil ketua, TM Ghazali P Tanjung sebagai sekretaris dan HMS Sulaiman sebagai bendahara. Adapun Syekh Sulaiman Ar-Rasuli menjadi ketua dewan kehormatan (Hoofdbestuur) Persatuan Tarbiyah Islamiyah. PTI saat itu berkantor pusat di Bukittinggi.
Hal lain yang disepakati dalam rapat besar ini adalah menetapkan tanggal 5 Mei 1928 sebagai hari lahirnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah serta menetapkan sepuluh orang ulama sebagai pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yaitu:
Pada 1931, dilakukan rapat di Batuhampar yang memutuskan pergantian jabatan ketua pelaksana dari Sulthani kepada Syekh Abdul Majid Koto Nan Gadang dan sekretaris dari Ghazali kepada Syahruddin Marajo Dunia. Pada bulan 9-14 Mei 1932, Kongres ke-I Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Koto Nan Ampek, Payakumbuh Barat, Payakumbuh melahirkan keputusan untuk merubah nama organisasi menjadi Persatuan Pendidikan Islam Indonesia (PPII).
Perubahan nama ini ditolak oleh ulama-ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah sehingga menimbulkan friksi di tubuh organisasi. Pemakaian nama Indonesia juga menyebabkan PPII dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga menyebabkan stagnasi organisasi hingga tahun 1937[7] (tahun yang sama dengan pembubaran Persatuan Muslim Indonesia [PERMI] yang merupakan pengembangan dari Persatuan Sumatera Thawalib, partai ini bubar setelah petinggi dan pengurusnya dibuang ke Boven Digul).[8]
Kondisi stagnansi yang dialami PPII memicu kelahiran organisasi lokal Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Lima Puluh Kota yang disingkat PERTI. Organisasi ini sebelumnya merupakan organisasi tarekat bernama At-Tarbiyah Ash-Shufiyah Al-Islamiyah yang didirikan di Suliki. Organisasi yang didirikan oleh Syekh Abdullah Suliki ini awalnya tidak memiliki hubungan dengan organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang didirikan di Canduang.
Pada 28 Januari 1934 atau 12 Syawal 1352 H, Rusli Abdul Wahid yang saat itu memimpin organisasi ini, dengan restu Syekh Abdul Wahid Ashshalihi kemudian memutuskan merubah nama organisasi ini menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah namun disingkat PERTI. Peresmian organisasi PERTI ini dilakukan di Surau Baru Mungka. Organisasi ini kemudian dengan cepat mendapat sambutan dan dukungan di kawasan Lima Puluh Kota terutama di Kecamatan Mungka, Suliki dan Payakumbuh.
Kemunculan organisasi PERTI di Mungka ini menyebabkan kalangan ulama kaum tua pada tahun 1934-1937 memiliki dua organisasi di Minangkabau. Usaha konsolidasi yang dilakukan oleh organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Bukittinggi yang diketuai Syekh Abdul Majid dan sempat mengganti nama menjadi PPII untuk memperbaiki gerakan organisasinya tidak berjalan dengan baik, sedangkan PERTI di Lima Puluh Kota berjalan lebih dinamis dengan mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.
Pada 24 Desember 1936, rapat pimpinan di Bukittinggi kemudian memutuskan mengembalikan nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI) dari yang sebelumnya sempat berganti menjadi Persatuan Pendidikan Islam Indonesia (PPII). Kemudian, PTI menerbitkan majalah Soearti (Soeara Tarbijah Islamijah). Majalah ini Terbit pertama kali Januari 1937 dengan Buya Sirajuddin Abbas sebagai pemimpin redaksinya.
Media massa yang pernah diterbitkan oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah | ||
---|---|---|
Nama | Tempat | Tahun |
Majalah al-Mizan | Bukittinggi | 1918 |
Majalah Soearti | Bukittinggi | 1937 |
Majalah Insyaf | Suliki | 1939 |
Majalah Super | Jakarta | 1951 |
Majalah Dewan Puteri | Bengkawas | 1952 |
Majalah al-Imam | Jakarta | 1955 |
Surat Kabar Nyiur Melambai | Rengat | 1955 |
Surat Kabar Harian Fajar | Jakarta | 1959 |
Surat Kabar Harian Jihad | Jakarta/Palembang | 1966 |
Majalah Sinar Tarbiyah | Jakarta (PB Tarbiyah) | 1970 |
Majalah Risalah Tarbiyah | Jakarta (DPP Perti) | 1970 |
Majalah B.O. Tarbiyah | Jakarta (PB Tarbiyah) | 1985 |
Sumber: Koto 2012[9] |
Akibat lumpuhnya PTI yang berpusat di Bukittinggi tersebut, beberapa ulama sepuh dan tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah kemudian mengadakan konferensi luar biasa di Suliki pada Mei 1937. Dalam konferensi tersebut, Syeikh Abbas Qadhi mengusulkan kepada Rusli Abdul Wahid (Ketua PERTI Mungka-Suliki) untuk meningkatkan PERTI Mungka-Suliki menjadi Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang berpusat di Bukittinggi sekaligus
Buya Rusli kemudian mengusulkan akronim PERTI yang selama ini digunakan sebagai identitas PERTI Suliki menjadi akronim atau singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Selanjutnya ia meminta agar tetap memimpin PERTI di Mungka-Suliki. Usulan ini disetujui oleh para ulama pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah termasuk Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Konferensi Suliki kemudian menetapkan pengurus sementara PERTI yang terdiri dari Syekh Muhammad Jamil Jaho sebagai ketua dewan kehormatan (hoofdbestuur), Syekh Hasan Basri Maninjau sebagai ketua pelaksana (de voorzitter) dan Sirajuddin Abbas sebagai sekretaris sementara. Selain itu, kantor pengurus besar juga ditetapkan berada di Bukittinggi.[10]
Setelah konferensi di Suliki, PERTI mengadakan konferensi besar di Bukittinggi pada 24 Desember 1937 untuk membentuk pengurus besar PERTI yang definitif. Konferensi tersebut menetapkan Syekh Muhammad Jamil Jaho sebagai ketua dewan kehormatan (hoofdbestuur) Hasan Basri sebagai ketua (voorzitter), Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua, Fakih Ghazali sebagai sekretaris. Adapun anggota pengurus terdiri dari Rusli Abdul Wahid, Sulthani Abdullah Dt. Rajo Dubalang dan HMS Sulaiman. Dalam struktur pengurus, juga ada dewan penasehat yang terdiri dari beberapa sesepuh PERTI seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Wahid, Syekh Arifin, dan lain-lain.[10] Pada masa kepengurusan ini, PERTI membentuk dua organisasi penunjang yaitu PERTI PUTERI yang didirikan pada setiap cabang PERTI dan Persatuan Murid-Murid Tarbiyah Islamiyah (PMTI) yang didirikan pada setiap MTI .[11]
Pada konferensi PERTI di Bukittinggi pada 11–16 Februari 1938 M/10–15 Dzulhijjah 1356 H, Sirajuddin Abbas terpilih sebagai ketua (Voorzitter) PERTI menggantikan Buya Haji Hasan Basri yang mengundurkan diri karena masalah kesehatan. Konferensi 1938 juga menetapkan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglement) PERTI sekaligus mengesahkan akronim PERTI sebagai singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.[12] AD/ART itu disempurnakan dan disahkan kembali pada Kongres ke-II di Bukittinggi pada tanggal 28 April–5 Mei 1939 M/8–15 Rabi’ul Awal 1958.[13]
Program awal Buya Sirajuddin Abbas pada 1938 adalah menyatukan mata pelajaran sekolah-sekolah PERTI dan membuat nomor urut Madrasah Tarbiyah Islamiyah dimulai dari MTI Canduang (No. 01), MTI Jaho (No. 02), MTI Tabek Gadang (No. 03) hingga MTI Salo Bukittinggi (No. 90). Majalah Suara Perti (Super) tahun 1951 menjelaskan bahwa MTI Putri Bengkaweh yang didirikan Syamsiyah Abbas pada tahun 1938 memiliki nomor urut 130. Pada 1954, PERTI memiliki 360 MTI yang tersebar di seluruh Indonesia.[14]
Partai Islam Pergerakan Tarbiyah Islamiyah | |
---|---|
Singkatan | Partai Islam PERTI |
Ketua umum | KH. Sirajuddin Abbas ([1938]1945-1950, 1962-1965) KH. Rusli Abdul Wahid (1950-1962, 1965-1966) KH. Rusli Halil (1966-1973[1985]) |
Dibentuk | 5 Mei 1928 (organisasi) 22 November 1945 (partai) |
Dibubarkan | 5 Januari 1973 |
Digabungkan dengan | Partai Persatuan Pembangunan |
Kantor pusat | Bukittinggi ([1928]1945-1950) Jakarta (1950-1973[sekarang]) |
Surat kabar | Soeara Perti (Soearti) |
Sayap pelajar | GERMAHI (Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia) GERPII (Gerakan Pelajar Islam Indonesia) |
Sayap pemuda | LASYMI (Lasykar Muslimin Indonesia) PI (Pemuda Islam) |
Keanggotaan (1950) | > 1 juta |
Ideologi | Islamisme (Islam tradisionalis) |
Agama | Islam |
Afiliasi nasional | Liga Muslimin Indonesia |
Persatuan Tarbiyah Islamiyah awalnya ikut berjuang di kancah politik dengan bergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) menggunakan identitas Persatuan Pendidikan Islam Indonesia dan turut memberikan konsepsi kenegaraan kepada Komisi Visman pada tahun 1939. Pada April 1942, PERTI melaksanakan kongres ke-III di Padang. Memasuki tahun 1944, para pemimpin Persatuan Tarbiyah Islamiyah melakukan gebrakan dengan bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam untuk seluruh Sumatra yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek, seorang ulama modernis yang pada masa lalu sempat bersitegang dengan ulama tua Persatuan Tarbiyah Islamiyah. MIT merupakan tempat untuk merujuk persoalan-persoalan agama, tetapi selama Perang Pasifik, organisasi ini kurang dapat berfungsi dengan baik.[a]
Pada konferensi tanggal 22 November 1945, PERTI memutuskan untuk bertransformasi menjadi partai politik dengan nama Partai Islam PERTI. Persatuan dalam akronim PERTI juga berubah menjadi pergerakan. Perubahan ini dikukuhkan kembali pada Kongres ke-IV di Bukittinggi tanggal 24-26 Desember 1945.[15] Pada Mei 1947, Partai Islam PERTI mengadakan kongres ke-V di Bukittinggi. Kongres tersebut juga membentuk sayap pemuda bernama Persatuan Pemuda Islam Indonesia (PERPINDO).
Pada Mei 1950, Partai Islam PERTI mengadakan kongres ke-VI di Bukittinggi. Kongres tersebut menetapkan Buya Sirajuddin Abbas sebagai ketua dewan partai tertinggi (DPT), Buya Rusli Abdul Wahid menjadi ketua umum dewan pengurus pusat (DPP) dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli sebagai ketua majelis penasihat pusat (MPP). Selain itu juga diputuskan memindahkan kantor pusat PERTI dari Bukittinggi ke Jakarta. Pada 1950, Partai Islam PERTI mencatat memiliki 1.007.400 orang anggota.[16][17]
Bulan Agustus 1953, PERTI melaksanakan kongres ke-VII di Jakarta. Pada 30 Agustus 1953, Partai Islam PERTI bersama Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) membentuk Liga Muslimin Indonesia yang kemudian diketuai oleh Abdul Wahid Hasyim. Piagam peresmian Liga Muslimin Indonesia ini ditandatangani oleh Wahid Hasyim (Ketua Umum PBNU), Abikoesno Tjokrosoejoso (Ketua Umum PSII) dan Sirajuddin Abbas (Ketua Dewan Partai Tertinggi/Hoofdbestuur PERTI). Hadir juga Perdana Menteri Wilopo. Kemudian turut bergabung dua organisasi Islam dari Sulawesi yaitu Darud Da'wah wal Irsyad dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia.
Pada bulan Agustus 1955, PERTI melaksanakan kongres ke-VIII di Jakarta. Selain membahas persiapan Pemilihan Umum 1955, kongres tersebut juga memutuskan merubah nama PERPINDO menjadi Pemuda Islam (PI). Dalam Pemilu 1955, Partai Islam PERTI berhasil meraih 483.014 suara sehingga mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh kursi Konstituante. Empat kursi DPR-RI yang dimiliki PERTI saat itu terdiri dari Buya Sirajuddin Abbas (Ketua Fraksi), Tgk. Nyak Diwan (Sekretaris Fraksi), Buya Rusli Abdul Wahid dan Buya Ma'rifat Mardjani.[18] Sedangkan tujuh kursi Konstituante dari PERTI terdiri dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli,[19] Syekh H. Muhammad Hasan Krueng Kale,[20] H. Mansur Dt. Nagari Basa,[21] Hj. Syamsiyah Abbas,[22] H. Umar Bakri,[23] Tengku Bay bin Mahmud,[24] dan H. Asymawi[25].
Dalam perjalanannya pada 20 Juli 1957, Syekh Sulaiman ar-Rasuli meminta di PAW dan kemudian digantikan oleh Kuasini Sabil.[26] Dua tokoh pemimpin PERTI juga pernah dipercaya menjabat menteri negara pada masa pemerintahan Soekarno. Kedua ulama tersebut adalah Sirajuddin Abbas sebagai Menteri Keselamatan Negara RI dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan Rusli Abdul Wahid sebagai Menteri Negara Urusan Umum dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II.[15]
Kongres ke-IX yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 13 - 20 Januari 1962 menetapkan Buya Sirajuddin Abbas sebagai Ketua Umum Partai Islam PERTI (merangkap Ketua Dewan Partai Tertinggi) dan Teungku Nyak Diwan sebagai Sekretaris Umum. Selain itu juga dibentuk beberapa organisasi karya Partai Islam PERTI seperti Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (GERMAHI). Pasca G30S/PKI 1965, Sirajuddin Abbas yang saat itu berada di Uni Soviet dicurigai mendukung komunisme dan kemudian bersama Tgk. Nyak Diwan diamankan sementara oleh pihak militer. Hal tersebut membuat Rusli Abdul Wahid memutuskan mengambil secara penuh kepemimpinan Partai Islam PERTI serta mendapuk dirinya sebagai ketua dewan partai tertinggi / ketua majelis syura (rais aam/hoofdbestuur) sekaligus ketua umum (tanfidziyah/voorzitter). Ia kemudian mengubah kembali kata pergerakan dalam akronim PERTI menjadi persatuan.
Kongres ke-X tanggal 27 Agustus sampai 4 September 1966 menetapkan Rusli Abdul Wahid sebagai Rais Aam Majelis Syura P.I. PERTI dan Buya Rusli Halil sebagai Ketua DPP P.I. PERTI. Keputusan ini menimbulkan sengketa di dalam Partai Islam PERTI antara kubu Rusli Abdul Wahid dengan kubu Sirajuddin Abbas.[27] Syekh Sulaiman ar-Rasuli akhirnya mengeluarkan seruan agar kembali ke Khittah 1928 pada 1 Maret 1969, yakni Persatuan Tarbiyah Islamiyah sebagai organisasi pendidikan dan dakwah Islam yang nonpolitik. Walaupun seruan tersebut sudah disampaikan, namun perpecahan tetap tak terelakkan pada zaman Orde Baru.[28]
Pada 1969, Sirajuddin Abbas dan Baharuddin ar-Rasuli bersama pendukungnya membentuk kepengurusan sendiri dengan sebutan Tarbiyah yang kemudian berpolitik melalui Golkar. Baharuddin ar-Rasuli terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Tarbiyah dan Ma'ana Hastuty sebagai Wakil Ketua Umum.[29] Di sisi lain, Partai Islam PERTI yang diketuai Rusli Halil tetap ikut dalam Pemilihan Umum 1971 dan berhasil meraih 381.309 suara sehingga mendapat dua kursi DPR-RI. Dua kursi DPR-RI yang dimiliki DPP PERTI pada pemilu 1971 terdiri dari Buya Rusli Abdul Wahid (Rais Aam DPP PERTI)[30] dan Tgk. Muhammad Saleh (Ketua DPD PERTI Aceh periode 1968-1988).[31] Di sisi lain, PB Tarbiyah juga berhasil meraih dua kursi DPR-RI melalui Golkar. Anggota DPR-RI dari Tarbiyah saat itu terdiri dari Buya Baharuddin ar-Rasuli[32] dan Buya Khalidi Said.[33]
Pada 1973, Partai Islam PERTI yang diketuai H. Rusli Halil bersama beberapa partai Islam lainnya berfusi menjadi PPP. Sementara itu Tarbiyah terus menyalurkan politiknya melalui Golkar. Pada 26 Juni 1988, Ketua Umum DPP PERTI saat itu, Buya H. Nurulhuda dengan restu rais aam Buya H. Rusli Abdul Wahid mengeluarkan pernyataan kemandirian PERTI untuk meninggalkan semua atribut politik dan kembali menjadi organisasi kemasyarakatan.[14] Pada Munas ke-IV Tahun 1989, Tarbiyah juga memutuskan tidak berafiliasi lagi dengan partai politik dan kembali menjadi ormas keagamaan yang independen.[34]
Islah antara kubu PERTI dengan kubu TARBIYAH baru tercapai melalui muktamar dan musyawarah nasional bersama di Jakarta pada 21-23 Oktober 2016 yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo.[35] Deklarasi islah ditandatangani oleh Ketua Majelis Pembina Pusat TARBIYAH Azwar Anas, Rais Aam DPP PERTI Yudo Paripurno, Ketua Umum PB TARBIYAH Basri Bermanda, Ketua Umum DPP PERTI Mohammad Faisal Amin dan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin sebagai saksi.
Berdasarkan hasil muktamar islah, Buya Basri Bermanda terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Tarbiyah Islamiyah, sedangkan Teungku Mohammad Faisal Amin menjadi Wakil Ketua Umum Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Selain itu, singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah juga mengalami perubahan menjadi TARBIYAH-PERTI.[14]
Islah tingkat nasional ini merupakan amanat Kesepakatan Bersama tanggal 29 Januari 2002 di Jakarta dan merupakan lanjutan dari upaya islah yang telah dilakukan di beberapa daerah seperti di Provinsi Sumatera Barat pada 14 Mei 2016 oleh Buya Boy Lestari dari PD TARBIYAH dan Buya Duski Samad dari DPD PERTI[36], di Kabupaten Aceh Barat Daya pada 8 Mei 2003 oleh Abuya Teungku Muhammad Syam Marfaly dari PERTI dan Teungku Teuku Burhanuddin Sampe dari TARBIYAH serta di Provinsi Riau pada 14 Maret 1999 oleh Buya Suwardi MS dari TARBIYAH dan Buya Muhsin Zahari dari PERTI.[37]
Pada Muktamar Bersama Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Organisasi Serumpun pada 23-25 Oktober 2022 di Jakarta disepakati pengembalian akronim PERTI sebagai singkatan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.[38] Berdasarkan muktamar tersebut, Muhammad Syafri Hutauruk terpilih sebagai Ketua Umum PERTI masa bakti 2022-2027.[39]
Persatuan Tarbiyah Islamiyah dibentuk oleh alim ulama Kaum Tua yang secara ajaran masih satu haluan dengan organisasi Islam tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama di Jawa. PERTI dalam amaliah berpedoman kepada fikih Syafii, akidah Asy'ari, dan tasawuf Sunni dengan mengikuti tarekat-tarekat muktabar.[40][41] Sebagian besar anggota dan simpatisan PERTI mengikuti Naqsyabandiyah-Khalidiyah[42][43] dan selebihnya adalah pengikut tarekat lain seperti Syattariyah di Padang Pariaman, Sumatera Barat; Kuta Krueng; dan Seulimeum, Aceh.[44][45]
Penyangga utama PERTI sebagai lembaga pendidikan Islam berada pada keberadaan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang berkembang sejak berdirinya MTI Canduang. Kurikulum MTI setaraf dengan kurikulum pesantren pada umumnya sehingga beberapa MTI kemudian mengganti sebutannya menjadi Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PPMTI) atau Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah (PPTI) agar tidak dianggap sebagai sekadar madrasah dalam pengertian Kementerian Agama.[46]
Pada 1957, tidak kurang dari 400 MTI didirikan di seluruh Indonesia dengan jangkauan terjauh sampai ke Lamakera, Nusa Tenggara Timur. Pada masa reformasi, MTI masih menerima banyak murid walau jumlah MTI di seluruh Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 2.355 MTI (pesantren, madrasah/sekolah, dan boarding school), 1.150 dayah dan 15.113 lembaga pendidikan TPA dan diniyah di musala dan masjid/surau yang berafilisasi dengan PERTI.[47]
Kurikulum MTI pada masa awal adalah murni kajian kitab kuning sebelum akhirnya ditambah dengan pelajaran umum pada sekitar 1950-1960. Beberapa kitab karangan ulama PERTI banyak menjadi rujukan para ulama dan santri di Indonesia, seperti I’itiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, 40 Masalah Agama yang terdiri dari empat jilid, Sirajul Munir, Bidayatul Balaghah, Ilmul Insya, Sirajul Bayan fi Fihrasati Ayatil Qur’an, Ilmun Nafs, dan lain-lain.[48]
Pada 26 Januari 1969, PERTI mendirikan Universitas Ahlussunnah (UNAS) di Bukittinggi dengan rektor pertamanya adalah Buya Ma'ana Hasnuty, Lc, MA. Saat itu UNAS hanya mempunyai satu fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah. Kini kelanjutan perguruan tinggi tersebut dikenal sebagai Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ahlussunnah Bukittinggi.
Pada 1984 didirikan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Ahlussunnah Bukittinggi dan STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh. Pendirian kedua perguruan tinggi tersebut diinisiasi oleh Ummi Hj. Syamsiyah Abbas.
Pada 10 April 1997, didirikan juga Sekolah Tinggi Agama Islam Yayasan Tarbiyah Islamiyah (STAI YASTIS) Padang. Dalam perkembangannya beberapa perguruan tinggi yang berafilisasi dengan PERTI juga didirikan di luar Sumatera Barat seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamiyah (STITI) Nusa Tenggara Barat yang didirikan pada tahun 2014.[49]
Pada 1 September 2023, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Universitas Persatuan Tarbiyah Islamiyah (UPTI) di Padang Sarai, Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat oleh Walikota Padang Hendri Sapta didampingi Ketua Majelis Pembina PERTI Pusat Oesman Sapta Odang Dt. Bandaro Sutan Nan Kayo, Ketua Umum PP PERTI HM Syarfi Hutauruk, Ketua PD PERTI Sumatera Barat Prof. Sufyarma Marsidin dan Ketua PC PERTI Kota Padang Prof. Salmadanis. Universitas ini merupakan pengembangan dari STAI YASTIS Padang.[50]
Persatuan Tarbiyah Islamiyah terbentuk di Sumatera Barat, kemudian tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Selain di Sumatera Barat, PERTI juga berkembang pesat di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Pengikut PERTI pada tahun 2022 berjumlah sekitar 30 juta orang. Hal ini menjadikan PERTI sebagai organisasi massa Islam terbesar ketiga di Indonesia, setelah NU dan Muhammadiyah.[51]
Jaringan PERTI di Sumatera Barat terdiri dari sejumlah MTI, PPTI, atau pondok pesantren yang sealiran. Beberapa MTI yang masih menerima santri dalam jumlah besar antara lain MTI Candung, MTI Batang Kabung, dan MTI Pasir. Selain MTI dan PPTI, ada beberapa pondok pesantren yang tak menyandang sebutan Tarbiyah Islamiyah tetapi masih memiliki kaitan keilmuan dengan alim ulama PERTI, seperti Pondok Pesantren Nurul Yaqin yang didirikan oleh Syekh Ali Imran Hasan (lulusan PPTI Malalo) pada 1960 di Ringan-Ringan[52] dan Pondok Pesantren Ashhabul Yamin yang didirikan oleh Buya Zamzami Yunus (lulusan MTI Canduang) pada 1992 di Lasi Tuo.[53]
Di Aceh, perkembangan PERTI tidak terlepas dari peran Syekh Muhammad Waly gelar Abuya Muda Waly, ulama terkenal Aceh yang membuka cabang pertama di Labuhan Haji pada 15 Mei 1942. Dua tahun sebelumnya, Abuya Muda Waly mendirikan Dayah Darussalam Labuhan Haji yang kemudian mencetak beberapa ulama ternama Aceh dengan jaringan lulusannya mencakup sebagian besar dayah di Aceh. Abuya Muda Waly kemudian memperkenalkan PERTI kepada gurunya, Syekh Muhammad Hasan Krueng Kale di Kutaraja. Kepengurusan PERTI Daerah Aceh baru terbentuk pada tahun 1952, Syekh Hasan Krueng Kale kemudian terpilih sebagai Ketua pertama PERTI Aceh.[54][55]
PERTI masuk ke Riau melalui Kampar atas dorongan Syekh Abdul Gani, ulama Naqsyabandiyah terkemuka di XIII Koto Kampar. Buya Aidarus Gani, putra Syekh Abdul Gani dan murid Abuya Muda Waly, mendirikan MTI Batu Bersurat (kini Pondok Pesantren Darussalam Saran Kabun) pada 1956 yang beberapa lulusannya menjadi pendiri pesantren di Riau. Sebelum itu, di Kampar juga telah berdiri MTI Tanjung Berulak. MTI ini pertama kali muncul sebagai halakah pengajian pimpinan Buya Abdul Manaf pada 1926. Pola pengajaran ini berlanjut sampai 1937, ketika Buya Abdul Hamid Harun mengubah pengajian tersebut menjadi madrasah seperti yang diterapkan di MTI Canduang.[56]
Struktur organisasi PERTI menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang disempurnakan pada muktamar 2022 ialah sebagai berikut.[57][58]
Tiap kepengurusan diganti setiap lima tahun melalui muktamar atau musyawarah. Setiap tingkatan selain PAC dan PR terdiri dari komposisi berikut.[57]
PP PERTI memiliki 25 (dua puluh lima) departemen dengan bidang-bidang berikut.[1]
Pasca Muktamar Islah pada 2016, beberapa onderbouw TARBIYAH-PERTI yang masih terpisah menurut afiliasi lamanya mulai digabungkan melalui beberapa rapat kerja nasional.[59][60]
Setelah Muktamar Bersama Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Organisasi Serumpun Tahun 2022, organisasi-organisasi serumpun PERTI mencakup:[1]
Lembaga-lembaga yang berada di bawah naungan PERTI dibentuk dan disahkan oleh Pengurus Pusat, seperti Lembaga Pendidikan, Lembaga Dakwah dan Tariqat, Lembaga Bantuan Hukum, Lembaga Ekonomi dan Koperasi, Lembaga Aset Organisasi, Lembaga Budaya dan Seni Islam (LBSI), Badan Wakaf Perti (BWP) dan lainnya.
Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia, PERTI memiliki beberapa onderbouw lain seperti Lasykar Muslimin Indonesia (Lasymi), Lasykar Muslimat, Wanita Islam Perti yang kemudian berubah menjadi Wanita Perti (WP), Persatuan Pemuda Islam Indonesia (Perpindo) yang kemudian berubah menjadi Pemuda Islam (PI), Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (LEKSI), Gerakan Kepanduan Al-Anshar, Gerakan Buruh Muslimin Indonesia (Gerbumi), Gerakan Tani Muslimin Indonesia (Gertami), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang kemudian berubah menjadi Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI), serta Ikatan Pelajar Sekolah Perti (IPSP) yang kemudian bertransformasi menjadi Gerakan Pelajar Islam Indonesia (GERPII) dan terakhir berubah menjadi Organisasi Pelajar Islam (OPI).[14]
Selain itu, PERTI juga pernah membentuk Ikatan Pemuda dan Pelajar Tarbiyah Islamiyah (IPTI), Ikatan Sarjana Tarbiyah Islamiyah (ISTI), Lembaga Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf Persatuan Tarbiyah Islamiyah (LAZISWAFTI), Forum Da'i Tarbiyah Islamiyah (FDTI) serta Organisasi Serba Guna Persatuan Tarbiyah Islamiyah (SERGAP).[62][63]
Berikut beberapa tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Aceh
Riau
Sumatera Utara
Bengkulu
Jambi
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Keterangan
Rujukan
Daftar pustaka