Poerbatjaraka | |
---|---|
Rektor Universitas Udayana ke-1 | |
Masa jabatan 1962–1964 | |
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Surakarta, Kasunanan Surakarta, Hindia Belanda | 1 Januari 1884
Meninggal | 25 Juli 1964 Jakarta, Indonesia | (umur 80)
Makam | Karet Bivak, Jakarta, Indonesia |
Suami/istri | BRAy. Roosinah Poeger |
Anak | 3 |
Kerabat | Radinindra Nayaka (canggah) |
Almamater | Universitas Leiden |
Dikenal karena | Pakar sastra Jawa Kuno |
Penghargaan sipil |
|
Sunting kotak info • L • B |
Mpu Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka (ejaan alternatif: Purbacaraka, 1 Januari 1884 – 25 Juli 1964) adalah seorang budayawan, ilmuwan Jawa, filolog otodidak, dan terutama pakar sastra Jawa Kuno. Poerbatjaraka adalah putra seorang bangsawan, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Poerbodipoero, yang merupakan sentono dalem (keluarga raja) Keraton Kasunanan Surakarta. Poerbodipoero adalah kerabat keluarga kesayangan Sunan Pakubuwono X. Sekaligus menjabat sebagai Bupati Anom, ia adalah seorang sastrawan dan sering kali menggubah perjalanan-perjalanan Sunan Pakubuwono X dalam bentuk tembang.
Poerbatjaraka menunjukkan minat pada sastra Jawa sejak usia dini dengan membaca buku-buku dalam koleksi keraton. Meskipun hanya bersekolah di sekolah dasar, pengetahuannya tentang sastra Belanda dan Jawa memungkinkannya untuk mengambil posisi di Dinas Purbakala di Batavia. Karena intelektual akademinya, ia dikirim oleh pemerintahan Hindia Belanda ke Universitas Leiden di Belanda. Dia diizinkan mendapatkan gelar doktor di Leiden. Dia kemudian kembali ke Hindia Belanda untuk bekerja di Museum Gajah, Batavia (sekarang Jakarta), membuat katalog teks-teks Jawa dan menulis karya ilmiah. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi profesor di Universitas Indonesia, Gajah Mada, dan Udayana. Berkat penelitiannya, Poerbatjaraka dijuluki sebagai "Bapak dan perintis ilmu Sastra Indonesia."
Poerbatjaraka merupakan putra tertua dari pasangan KRMT. Poerbodipoero Yoedonegoro dan RAy. Semu Prawirancono. Ia mempunyai kakak perempuan, RAy. Hamongrejo. Adik-adiknya merupakan RM. Kodrat Purbopangrawit, RM. Wiradat Purbodirenggo, dan RAy. Buyoturonggo.
KRMT. Poerbodipoero Yoedonegoro adalah putra dari pasangan RMT. Yoedonegoro dan RAy. Wianyagupita. RMT. Yoedonegoro sendiri merupakan anak dari pasangan KRMT. Tondanagoro, Bupati Nayoko Siti Hageng Surakarta, dan BRAy. Soeimah. Dari KRMT. Tondanagoro, ia adalah putra KPH. Poerbonagoro (putra pasangan Mangkunagoro I dan Nyi Aj. Kertasari) dan GKR. Poerbanagoro (putri pasangan Pakubuwono III dan permaisurinya GKR. Kencana). Dari BRAy. Soeimah, ia adalah putri KGPH. Mangkubumi I (putra Pakubuwuno III dan GKR. Kencana; saudara kandung GKR. Poerbanagoro) dan RAy. Tasikwoelan. Dengan itu, dari garis bapaknya, Poerbatjaraka merupakan keturunan Trah Mangkunagoro I dan Pakubuwono III.
Dari garis ibunya, RAy. Semu Prawirancono, Poerbatjaraka adalah keturunan Trah Amangkurat IV. RAy. Semu Prawirancono adalah putri dari Kyai RM. Ng. Prawirancono, yang merupakan putra dari Kyai RM. Soerontani. RM. Soerontani adalah putra dari pasangan RM. Soemodiwiryo dan RAy. Soemodiwiryo Yosodipoero. RM. Soemodiwiryo adalah putra KPH. Hadiwijaya I, Bupati Tanah Kedu, putra dari Amangkurat IV. Di sisi lain, RAy. Soemodiwiryo Yosodipoero adalah putri dari RNg. Yosodipoero, Pujangga Keraton Kartosura.
Poerbatjaraka lahir dengan nama lahir (asma timur) Raden Mas Lesya, pada 1 Januari 1884 di Surakarta, Hindia Belanda. Sebagai putra bangsawan dari pasangan KRMT. Poerbodipoero Yoedonegoro, Bupati Anom Kasunanan Surakarta, dan RAy. Semu Prawirancono, Lesya memperoleh sejumlah hak-hak istimewa. Bukan hanya karena itu, hubungan antara ayahnya, Bupati Anom, dengan Sunan Pakubuwono X baik sekali, karena sejak bayi, Pakubuwono X diasuh oleh Poerbodipoero. Pendidikan menari, bernyanyi, dan sastra juga diberikan oleh Bupati Anom tersebut. Tidak hanya ayahnya yang dipandang baik oleh Pakubuwono X, ibunya, RAy. Semu Prawirancono, sangat menggemari buku-buku sastra juga, dan pandai memasak sampai Pakubuwono X pun tertambat seleranya.
Salah satu hak istimewanya adalah memperoleh kesempatan untuk bersekolah di HIS (Hollandsch-Indische School), yang umumnya disediakan hanya untuk anak-anak dari golongan bangsawan dan tokoh-tokoh terkemuka, yang berlangsung selama 7 (tujuh) tahun. Di sana, Lesya belajar bahasa Melayu, bahasa Belanda dan pengetahuan dasar lainnya. Akan tetapi, sebelum ia bisa menyelesaikan edukasinya, ia dikeluarkan di tengah-tengah masa pendidikan dengan alasan yang tidak jelas. Ia merasa bahwa guru-gurunya (orang Belanda) melihat bahwa kemampuan akademiknya sangat “membahayakan” bagi Belanda.
Walaupun begitu, Lesya tetap memfasihkan kemampuan berbahasa Belandanya melalui percakapan dengan tentara Belanda yang berada di keraton. Para serdadu Belanda senang bercakap-cakap dengan Lesya karena perangainya yang terbuka. Lesya juga, sebagai putra tertua kerabat keluarga tersayang Pakubuwono X, ditugaskan untuk mendampingi putra-putra Pakubuwuno X ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School), termasuk Raden Mas Antasena, yang dinantinya menjadi penerus tahta Surakarta. Karena kedekatan Lesya dengan putra-putra Pakubuwuno X, ia dapat mengikuti pelajaran, walaupun tidak pernah terdaftar sebagai murid resmi. Dengan kecerdasaran intelektual yang sangat pintar dan ketekunan belajar, dia sendiri berhasil sampai kelas 6 (enam), dan yang lain gagal di tengah jalan. Di kelas tersebut, Lesya dikeluarkan, dengan alasan “sudah terlalu tua.” Selalu giat untuk belajar, Lesya juga sangat gemar membaca. Pada usia muda, ia sudah belajar membaca kitab-kitab dan naskah-naskah klasik Jawa, beberapa di antaranya dalam bentuk naskah manuskrip yang bisa ia temukan dalam perpustakaan keraton.
Perkenalan pertamanya dengan sastra Jawa Kuno terjadi ketika ia menemukan buku karangan ahli Indologi termasyhur, Prof. Dr. Hendrik Kern. Buku ini sebenarnya hadiah Residen Belanda kepada Pakubuwono X, tetapi, karena ia kurang mengerti isi buku ini dan tidak fasih dalam bahasa Belanda, sehingga memberikannya kepada Poerbodipoero, yang dimaksudkan agar dapat menjelaskan isi buku tersebut. Sejak saat itu, Lesya menjadi sangat tertarik pada sastra Jawa Kuno.
Pada tahun 1900-an, Lesya yang sudah remaja masuk ke kehidupan aristokrat Keraton Surakarta, dan diberikan nama Lesya Atmopradonggo. Nama itu disesuaikan dengan tugas yang diembannya di keraton, yakni sebagai penabuh gamelan, menyelenggarakan uyon-uyon serta "nembang" atau melantunkan lagu-lagu Jawa.
Lesya yang gemar dengan sastra Jawa mendekati para punggawa keraton yang gemar akan sastra Jawa, yang kala itu sering suka mengadakan pertemuan-pertemuan untuk berdiskusi, di mana mereka membicarakan sastra Jawa, terutama beberapa bagian syair dan karya sastra lainnya yang sulit. Lesya yang masih muda suka mengikuti pertemuan ini. Karena ia merasa sudah banyak berpengetahuan kala itu berkat buku-buku Belanda, pernah suatu ketika ia menantang seorang abdi dalem senior. Hal ini ternyata berbuntut panjang dan Lesya merasa tidak betah lagi dalam suasana ini, dan akhirnya tersingkir dari lingkar sastra itu karena dianggap sombong atas kritiknya dengan usianya yang masih muda.
Karena Lesya merasa lebih cocok dengan pendekatan ilmiah yang dibacanya dari buku-buku Belanda, maka ia menulis surat kepada Residen Surakarta waktu itu, Residen Helpke. Pada awalnya Pakubuwono X tidak mengizinkannya pindah ke Batavia. Menurutnya, Lesya tidak berterima kasih karena sudah disekolahkan dan sudah menjadi pandai, tetapi mau meninggalkan Surakarta. Berkat perantaraan Residen Helpke, akhirnya Pakubuwono X menyetujui karena untuk Lesya, di Surakarta, pengetahuannya tidak akan bertambah. Sang residen yang sudah mendengar kepandaian Lesya lalu mengirimnya ke Batavia pada tahun 1910.
Di Batavia, Lesya dipekerjakan di Dinas Purbakala, Museum Gajah. Di museum, ia bertemu dengan Dr. Hendrik Kern, seorang ahli sejarah dan sastra Jawa terkemuka dari Belanda (sebenernya Kern lahir di Purworejo). Pada masanya di sana, Lesya dianggap pandai dan sering dimintai tolong oleh para pakar. Ia juga rajin menulis di jurnal-jurnal ilmiah Belanda, melanjutkan pelajarannya akan sastra Jawa Kuno, dan mulai mempelajari Bahasa Sanskerta.
Dr. Hendrik Kern, yang memperhatikan potensi Lesya, memutuskan untuk mengirimnya ke Belanda. Sesuai tradisi bangsawan Jawa, disaat kenaikan pangkat secara berkala, mereka diberi gelar yang lebih tinggi dan dapat menentukan nama baru. Lesya Atmopradonggo diberikan nama dewasa oleh Pakubuwuono X: Poerbatjaraka. Nama ini terdiri dari kata purba (utama) dan caraka (utusan atau duta), dari aksara Hanacaraka yang memiliki arti utusan utama. Gelar kebangsawanan Raden Mas Ngabehi, yang lebih rendah dari gelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung milik ayahnya, juga diberikan pada kala ini.
Dr. Hendrik Kern mengirimnya ke Leiden, Belanda untuk langsung belajar program doktor di Universitas Leiden sebagai asisten Prof. G.A.J. Hazeu, mahaguru sastra Jawa, menggantikan Samsi Sastrowidagdo.
Ia berangkat ke Belanda pada bulan Agustus 1921. Poerbatjaraka sama sekali tidak mempunyai ijazah formal, bahkan ijazah HIS sekalipun tidak ada, namun tetap diberikan kesempatan untuk menempuh ujian-ujian akademis di Leiden karena intelektualnya. Pengetahuannya di bidang yang ditekuninya dikagumi oleh Hazeu, dan itu ia perlihatkan juga di masyarakat Belanda. Poerbatjaraka mempublikasikan sejumlah artikel dan naskah kuno dalam majalah Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (Jurnal Ilmu Humaniora dan Ilmu Sosial Asia Tenggara). Pada Juni 1926, Poerbatjaraka diperkenankan berpromosi dan mendapatkan gelar doktor dengan disertasinya: Agastya in den Archipel (Argastya di Nusantara).
Poerbatjaraka merupakan anggota yang aktif dan unik di dalam organisasi Perhimpoenan Indonesia. Ia juga menjadi anggota yang terhomat dalam organisasi sarjana Oostersch Genootschap (Masyarakat Timur), di mana ia beberapa kali berbicara, dan pada Januari 1925, memberikan pertunjukan tarian Jawa.
Bersama rekannya, asisten dosen Mohammad Zain, Poerbatjaraka juga termasuk dalam pengurus Kongres Pengajaran Kolonial ketiga yang berlangsung pada bulan April 1924 di Den Haag. Kongres tersebut memusatkan perhatian pada pengajaran tinggi di Hindia Belanda. Poerbatjaraka menjadi salah satu prasaran masalah-masalah yang didiskusikan. Dalam kongres ketiga ini, tokoh-tokoh Belanda juga ikut serta, dengan Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina, menjadi pelindung dan pembuka kongres.
Sekembalinya ke Batavia pada tahun 1927, ia diberi pekerjaan di Museum Gajah sebagai kurator naskah manuskrip dan diberi tugas untuk mengkatalogisasi semua naskah Jawa. Sebenarnya, ia ingin mengajar pada AMS Surakarta tetapi tidak diberi kesempatan, dan walaupun saat ketika fakultas sastra dibuka, kesempatan tersebut tetap tertutup baginya. Menurut Poerbatjaraka, pihak Belanda memang sengaja menyimpannya di museum, agar ia tidak dapat mengembangkan kemampuannya dengan mengajar.
Tetapi Poerbatjaraka tetap menantang batasan-batasan yang dikenakan padanya. Ia tekun menyelidiki buku-buku dan prasasti kuno dan hasil karyanya terus terbit berupa tulisn dalam majalah ilmiah atau berupa buku-buku. Tidak kurang dari 50 (lima puluh) buah karya ilmiah Poerbatjaraka berada dalam perpustakaan Museum Gajah.
Poerbatjaraka juga merupakan salah satu anggota Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta, pada 25—27 Juni 1938. Pada tahun 1940-an, saat teater Pasifik Perang Dunia II pecah dan mulainya ekspansi Kekaisaran Jepang ke Asia Tenggara, Poerbatjaraka dan keluarganya meninggalkan Batavia yang memiliki risiko tinggi menjadi zona perang, dan kembali ke kediaman Poerbodipoeran di lingkungan Keraton Surakarta, Surakarta.
Di Surakarta, Poerbatjaraka mengajarkan Prof. Dr. RM. Soetjipto Wirjosoeparto dan Prof. D.R. RM. Koentjaraningrat. Sambil bekerja di Museum Surakarta, mereka menerima pelajaran dari Poerbatjaraka mengenai Jawa Kuno dan Sansekerta. Kemudian Prof. Soetjipto pindah mendalami ilmu sejarah, sedangkan Prof. Koenjaraningrat mengambil jurusan antropologi.
Poerbatjaraka, yang ayahnya dulu merupakan sentono dalem (kerabat keluarga) kesayangan Pakubuwono X, menasehati penerusnya, Pakubuwono XI, akrab waktu kecil dipanggil Raden Mas Antasena, yang ia sering dampingi ke sekolah ELS. Kedua anak Poerbatjaraka tumbuh besar bersama anak-anak Pakubuwuno XI. Kecantikan putri Poerbatjaraka, RAy. Ratna Himawati, yang luar biasa membuat para aristokrat keraton terpesona, dan menjulukinya sebagai Mawar Keraton Solo. Keluarga Poerbatjaraka hadir dalam penobatan Pakubuwuno XII pada 11 Juni 1945, penerus Pakubuwono XI yang gemar dipanggil Bobbie oleh RAy. Ratna Himawati dan kerabat dekat lainnya. Sampai tahun 1950, Poerbatjaraka dan keluarganya tinggal di kediaman keluarga ndalem Poerbodipoeran sampai selesainya Perang Kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Poerbatjaraka dan keluarganya pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan tinggal di kediaman baru di daerah Menteng, Jakarta. Ia menjadi anggota Panitia Lambang Negara yang dibentuk Presiden Soekarno pada 10 Januari 1950. Anggota lainnya yakni Sultan Hamid II (ketua panitia), Ki Hajar Dewantara, Mohammad Yamin, Mohammad Natsir (ketua partai Masyumi), dan juga MA Pellaupessy, selaku menteri penerangan yang juga mewakili Indonesia Timur karena beliau berasal dari Ambon. Poerbatjaraka merupakan tokoh yang mengusulkan lambang pohon beringin di dada lambang negara Garuda Pancasila.
Pada masa ini, ia juga menjadi profesor di Universitas Indonesia, Jakarta, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Bahkan di Denpasar, ia lah yang mendirikan Fakultas Sastra.
Di masa pensiunnya, ia terus menulis tentang sejarah dan sastra Jawa untuk jurnal di Indonesia dan Belanda. Pada tahun 1952, ia menerbitkan koleksi studinya dalam sebuah buku berjudul Kapustakaan Djawi. Pada tahun 1957, Pemerintah India mengundang Poerbatjaraka ke India untuk menghadiri peringatan Buddha Jayanti. Peristiwa tersebut merupakan salah satu lembaran bahagia dalam kehidupan Poerbatjaraka, karena kepuasannya yang terletak pada kemampuannya untuk menerjemahkan buku-buku indah penuh pelajaran mulia seperti Ramayana, Arjunawiwaha, Suluk Wijil, dan Dewa Ruci.
Poerbatjaraka diangkat menjadi anggota kehormatan Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda pada tahun 1963. Pada tahun 1964, Jurnal Kajian Budaya Indonesia menerbitkan dua puluh enam artikel untuk menghormatinya yang berulang tahun ke-80 lalu pada tanggal 3 Mei, civitas akademika Universitas Nasional Jakarta memberinya gelar "Mpu" atas jasa-jasanya di bidang penelitian dan pengembangan ilmu sastra di Indonesia. Pada 25 Juli di tahun yang sama, beliau tutup usia pada umur 80 tahun di Jakarta. Poerbatjaraka dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
Pada 17 Agustus 1969, atas pengabdiannya kepada budaya Indonesia, terutama dalam bidang sastra, sejarah, arkeologi, dan filologi, Poerbatjaraka diberikan kehormatan anumerta Bintang Maha Putera Utama oleh Presiden Soeharto, lima tahun setelah ia meninggal dunia.
Poerbatjaraka lahir dalam keluarga Keraton Surakarta sebagai putra tertua dari Kanjeng Raden Mas Tumenggung Purbadipura, yang dekat dengan Sunan Pakubuwono IX dan membesarkan putra mahkotanya, Pakubuwono X. Nama Poerbatjaraka, yang berarti "Duta besar utama", diberikan oleh Pakubuwono X, yang mengizinkannya untuk dikirim ke Leiden, Belanda sebagai perwakilan Keraton Surakarta. Sekembalinya, Poerbatjaraka diperintahkan oleh Pakubuwono X untuk menikah dengan BRAy. Roosinah Poeger, putri GPH. Poeger dari keluarga Keraton Yogyakarta, untuk meredakan ketegangan antara kedua keraton.
Seorang bangsawan Jawa yang terpandang, ia bangga dengan kebangsawannya, dan dikenang dengan baik karena selalu mengikuti adat keraton dan mengenakan pakaian Jawa sampai akhir hayat. Sepanjang hidupnya, Poerbatjaraka tidak pernah ragu untuk berbagi ilmu dan kebijaksanaan, ia selalu bersedia membantu kerabatnya. Anggota keluarga Poerbatjaraka merupakan keturunan dari Sunan Pakubuwana X dari Keraton Surakarta, Sultan Hamengkubuwana VI dari Keraton Yogyakarta dan KGPAA. Mangkunegoro I dari Keraton Mangkunegaran.