Geografi | |
---|---|
Lokasi | Laut Seram |
Koordinat | 2°58′20″S 127°55′19″E / 2.972134°S 127.921970°E |
Kepulauan | Makebo,[a] Kepulauan Maluku |
Dibatasi oleh | Selat Buano, Selat Valentine |
Luas | 134 km2[2] |
Titik tertinggi | Gunung Tahun (606 m)[3] |
Pemerintahan | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Maluku |
Kabupaten | Seram Bagian Barat |
Kecamatan | Huamual Belakang |
Negeri | Buano Selatan, Buano Utara |
Info lainnya | |
Zona waktu | |
Pulau Buano atau Pulau Boano adalah sebuah pulau di sebelah selatan Laut Seram, Indonesia. Pulau ini terletak di sebelah timur laut dari Pulau Kelang dan di sebelah barat laut Pulau Seram. Pulau Buano secara administratif termasuk ke dalam daerah dua desa di Kecamatan Huamual Belakang, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.[4][5]
Nama Pulau Buano dicatat oleh penulis Belanda, François Valentijn, di dalam bukunya Beschryvinge van Amboina tahun 1724 sebagai Bonoa, Boan, Boano, dan Bonnoa. Di bagian selatan pulau ini terdapat tiga dusun yang bernama Tuhusu, Boway, dan Tean. Ketiga desa tersebut berada di bawah kepemimpinan Sengadji Tahakeke dan Latu Hakeke. Desa-desa lainnya bernama Hatulilli dan Hulu di utara, Sea di barat, serta Senanoy atau Senay, dan Hata-Puteh di timur. Sebelumnya di wilayah pegunungan di Buano juga ada empat desa yang bernama Ussan, Olan, Hatuwahoen, dan Selubatten. Orang di pegunungan disebutkan telah turun ke wilayah pesisir pada tahun 1667. Pada masa itu, Pulau Buano diperkirakan dihuni oleh 1.200 jiwa dan masyarakatnya kebanyakan bekerja sebagai petani subsisten. Valentijn menyebutkan mengenai perundingan perdamaian antara Herman van Speult dari VOC dengan Sengadji Buano yang dimediasi oleh seorang kapitan dari Hitu pada tahun 1619.[6]
Wilayah Semenanjung Huamual dan sekitarnya di Seram Bagian Barat telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah sejak sebelum abad ke-17. Pulau Buano juga memiliki kelebihan sebagai titik pelabuhan yang aman saat musim angin muson barat.[7] Pada abad ke-17, Pulau Buano serta wilayah Semenanjung Huamual dan sekitarnya tunduk kepada Kesultanan Ternate. Agama Islam juga telah tersebar di wilayah ini pada masa itu. Penelitian di negeri Buano Utara menemukan lima makam kuno yang berciri serupa dengan makam kuno di Ternate namun pada bagian ukirannya ditemukan pengaruh Demak.[8] Islam cenderung mendominasi kepercayaan penduduk di bagian utara Pulau Buano, sementara Kristen Protestan berkembang di bagian selatan setelah kedatangan misionaris Belanda.[9] Saat VOC mengkonsolidasikan monopolinya terhadap perdagangan rempah di Maluku, terjadi beberapa pemberontakan. Salah satunya adalah Perang Huamual yang juga melibatkan orang Buano yang memihak kepada Luhu dan Leilato melawan VOC pada tahun 1639. VOC berhasil memenangkan perang tersebut dan pada tahun 1656, Arnold de Vlaming melakukan pemindahan paksa penduduk di berbagai wilayah di bagian barat Seram sebagai upaya meredam pemberontakan. Penduduk Pulau Buano disebutkan banyak dipindahkan ke Pulau Manipa. Pada tahun 1675, Ternate membuat perjanjian dengan VOC yang menyatakan bahwa Ternate menarik klaimnya terhadap wilayah-wilayah Ambon dan sekitarnya termasuk Pulau Buano setelah terjadinya perang tersebut.[7][10][11] Pada tahun 1917, Boano tercatat sebagai sebuah daerah dari Onderafdeling Seram Barat, Afdeling Seram, Keresidenan Ambon.[12]
Pada tahun 1983, sebuah kerusuhan terjadi di Buano ketika beberapa warga Buano Utara menyerang Buano Selatan setelah seorang nelayan dari Buano Utara ditahan oleh kewang dari Buano Selatan karena melanggar sasi.[b] Beberapa orang terbunuh dan sejumlah bangunan di Buano Selatan dibakar, termasuk sebuah balai baileo. Peristiwa tersebut kemudian menyebabkan dihapusnya sistem kewang di Pulau Buano. Pada tahun 1999, pada masa terjadinya konflik sektarian Maluku, sekelompok orang dari Laskar Kristen dari luar Pulau Buano menyerang Buano Utara yang hampir seluruhnya penduduknya menganut agama Islam. Penduduk Buano Utara kemudian menyerang Buano Selatan yang kebanyakan penduduknya menganut agama Kristen Protestan.[9]
Pulau Buano terletak di sebelah selatan Laut Seram dan dihubungkan dengan Pulau Seram oleh Selat Buano. Pulau ini berjarak sekitar 14 km ke arah timur laut dari Pulau Kelang. Bagian utara dan timur laut Pulau Buano cenderung datar sementara di bagian barat dan selatan reliefnya cenderung berbukit. Titik tertinggi di Pulau Buano ada di perbukitan di bagian barat yaitu Gunung Tahun pada ketinggian sekitar 606 m. Sementara itu, di sebelah barat laut, dapat ditemui beberapa gosong serta sebuah pulau lain yaitu Pulau Pua. Selat Valentine memisahakan Pulau Buano dengan Pulau Pua yang di bawahnya diselingi oleh terumbu karang di banyak tempat.[3][5][13] Pulau ini bersama dengan Pulau Manipa dan Pulau Kelang disebut sebagai Makebo (Manipa, Kelang, dan Buano).[1]
Pulau Buano berada di wilayah Busur Luar Banda yang melengkung dari wilayah Kepulauan Sawu di selatan menuju Kepulauan Tanimbar hingga Pulau Buru di utara.[14] Busur tersebut merupakan hasil penunjaman samudra Lempeng Indo-Australia terhadap Lempeng Eurasia di wilayah Embayment Banda. Akan tetapi, wilayah Pulau Buano serta wilayah Pulau Seram memiliki karakteristik pembentukannya sendiri dan tidak sepenuhnya serupa dengan pembentukan Pulau Timor di bagian selatan busur. Salah satu teori menyebutkan mengenai perluasan pada arah utara-selatan yang terjadi di Pulau Seram akibat rollback (pembalikan) lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Pulau Seram. Di Pulau Buano, dapat dijumpai Formasi Manusela yang terdiri atas batu gamping, batu gamping oolit, dan kalsilutit dari Periode Jura hingga Kapur. Formasi tersebut berada di bagian selatan, tengah, dan barat pulau yang berbukit sementara bagian timur dan utara yang landai cenderung didominasi oleh material aluvium dan batu gamping koral dari Kala Holosen.[15][16]
Pulau Buano merupakan salah satu dari 10 pulau yang berpenduduk di daerah Seram Bagian Barat.[2] Wilayah pulau ini memiliki iklim hutan hujan tropis (Af).[17] Pulau Buano merupakan daerah dari dua desa di Huamual Belakang yaitu Desa Buano Selatan dan Buano Utara. Hingga Desember 2019, batas antara daerah kedua tersebut masih diperdebatkan.[18] Pada tahun 2018, jumlah penduduk di Buano Selatan adalah 1.829 jiwa sementara di Buano Utara (termasuk Pulau Pua) adalah 8.302 jiwa.[4] Pulau ini dapat diakses melalui jalur laut dari Pelabuhan Masika di Waesala.[1] Di Pulau Buano dapat dijumpai masyarakat penutur bahasa Buano yang merupakan sebuah bahasa Austronesia dari rumpun bahasa Teluk Piru.[7]
Pulau Buano bersama Pulau Pua merupakan sebuah kawasan Important Bird Area (IBA) BirdLife International dengan satwa endemik yaitu kehicap buano (Symposiachrus boanensis) yang status konservasinya tergolong terancam kritis (IUCN: CR). Terdapat sekitar 68 spesies burung yang ditemukan di pulau ini di antaranya adalah mamoa yang tergolong rentan dan nuri maluku. Spesies vertebrata lainnya yang dapat ditemukan adalah seperti rusa timor (C. timorensis moluccensis), soa-soa, dugong, penyu hijau, dan penyu sisik.[3][19] Ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun dapat ditemukan di wilayah pesisir Pulau Buano. Luas hutan mangrove di pulau ini adalah sekitar 481 ha dengan spesies dari genus Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops.[1][20] Penelitian tahun 2012 menemukan 15 spesies terumbu di perairan Pulau Buano di antaranya dari genus Chromis, Pterocaesio, dan Pomacentrus.[2]