Rata (bahasa Purwa-India-Iran: *Hrátʰas, bahasa Sangsekerta: रथ, rátha; bahasa Awesta: raθa) adalah istilah India-Iran untuk kereta atau pedati dengan roda berjeruji.
Di Daimabad dan Harapa, situs-situs peradaban Lembah Sungai Sindu di Anak Benua India, ditemukan bukti penggunaan tiruan mini pedati yang terbuat dari lempung bakar seawal-awalnya sejak tahun 3500 Pramasehi, yakni pada Fase Rawi. Ada bukti keberadaan alat angkut beroda (teristimewa tiruan-tiruan mini) dalam peradaban Lembah Sungai Sindu, tetapi bukan kereta.[1] Kenyataan ini diungkap Jonathan Mark Kenoyer di dalam bukunya sebagai berikutː
Pada Kurun Waktu Harapa (Fase Harapa, tahun 2600-1900 Pramasehi), jumlah pedati dan beragam jenis roda lempung bakar di Harapa maupun situs-situs di seluruh daerah Sindu meningkat secara dramatis. Keberagaman pedati dan roda, termasuk citra-citra benda yang dapat disebut roda berjeruji, pada kurun waktu pemekaran kota dan perdagangan ini mungkin mencerminkan kebutuhan-kebutuhan fungsional maupun preferensi gaya dan budaya yang berbeda-beda. Bejana-bejana yang unik dan kemunculan awal pedati di daerah Lembah Sungai Sindu menyiratkan bahwa benda-benda itu adalah hasil kemajuan teknologi pribumi dan bukan sebaran dari Asia Barat atau Asia Tengah seperti yang dulu diduga para sarjana.[2]
Menurut para pengusung teori Pribumi Arya, masyarakat pribumi India sudah mengenal kereta sebelum kedatangan bangsa Arya-India pada permulaan milenium ke-2 Pramasehi. Arkeolog B. B. Lal berpendapat bahwa temuan gurat-gurat lukisan (atau gurat-gurat relief dangkal) roda-roda lempung bakar maupun cap-cap yang menerakan gambar serupa menunjukkan keberadaan dan pemanfaatan kereta-kereta dengan roda berjeruji dalam peradaban Harapa, sebagaimana tersingkap dalam ekskavasi-ekskavasi Birana tahun 2005-2006.[3] Bhagwan Singh pun telah mengajukan pendapat yang sama,[4] dan S. R. Rao telah mengajukan bukti keberadaan kereta dalam bentuk tiruan-tiruan mini berbahan baku perunggu dari Daimabad (Harapa Akhir).[5][keterangan 1]
Sisa-sisa beberapa pedati tertua dari zaman Tembaga-Perunggu yang ditemukan di India (di Sinauli) sudah dipertanggal tahun 1900 Pramasehi. Sebagian pihak menduga bahwa temuan tersebut adalah kereta-kereta kuda beroda dua, yang sudah dikenal sebelum kedatangan bangsa Arya-India, bangsa yang sangat mengutamakan kuda.[7][8][9] Pihak-pihak lain menentang dugaan tersebut, dengan alasan roda mampat adalah roda untuk pedati, bukan untuk kereta.[7][8]
Kereta-kereta yang dihela kuda, berikut budaya mengistimewakan kereta dua roda dan upacara-upacara yang berkaitan dengannya, disebarkan oleh bangsa India-Iran,[10] sementara kuda dan kereta kuda diperkenalkan ke India oleh bangsa Arya-India.[11][12][13][keterangan 2]
Bukti tertua keberadaan kereta di kawasan selatan Asia Tengah (di daerah Sungai Oksos) diperkirakan berasal dari zaman kemaharajaan wangsa Hakhamanis (selain kereta-kereta yang dihela lembu, seperti yang tampak pada petroglif-petroglif).[18] Tidak ada kereta bekal kubur khas peradaban Andronowo yang ditemukan di sebelah selatan Sungai Oksos.[19]
Penyebutan kereta-kereta di dalam Regweda merupakan bukti keberadaannya di India pada milenium ke-2 Pramasehi. Regweda bahkan membedakan rata (kereta) dari anas (kerap diterjemahkan menjadi "pedati").[20] Kereta-kereta di dalam Regweda dikatakan terbuat dari kayu Salmali (Regweda 10.85.20), kayu Khadira, dan kayu Singsapa (Regweda 3.53.19). Kendati jumlah rodanya bervariasi, ukuran-ukuran untuk aneka jenis kereta termaktub di dalam khazanah susastra Sulbasutra.
Kereta juga mengemuka di dalam susastra-susatra terkemudian, termasuk pustaka-pustaka Weda lainnya, khazanah susastra Purana, dan wiracarita-wiracarita Hindu (Ramayana dan Mahabarata). Bahkan dewa-dewi Hindu pun kerap digambarkan sedang berkereta. Dewa-dewi Regweda, teristimewa Usas (fajar), dikatakan mengendarai sebuah kereta, demikian pula Agni selaku pewarta yang menghubungkan dewa-dewi dengan umat manusia. Di dalam Regweda 6.61.13, Sungai Saraswati dikatakan lebar lagi laju arusnya, laksana laju sebuah kereta.
Petroglif-petroglif pada permukaan batu gamping di daerah pegunungan Windyacala juga mencakup beberapa gambar kereta. Dua gambar kereta ditemukan di Morhana Pahar, distrik Mirzapur. Salah satu di antaranya menampilkan dua ekor kuda, tetapi hanya terlihat satu kepala pengendara. Gambar yang satu lagi adalah gambar kereta berpenghela empat ekor kuda dengan enam buah roda berjeruji, pengendaranya tampak sedang berdiri di atas badan kereta berukuran besar. Agaknya kereta ini sedang diserbu, karena ada gambar seorang pembawa perisai dan gada berdiri menghadang, sementara di sebelah kanan kereta ada satu orang lagi sedang membidikkan anak panah. Gambar-gambar yang kemungkinan besar dibuat pada abad-abad pertama Pramasehi ini diduga (Sparreboom 1985:87) mengabadikan kisah kedatangan masyarakat pengendara kereta dari dataran Gangga-Yamuna ke daerah yang masih dihuni suku-suku pemburu zaman Batu Muda. Mungkin saja gambar-gambar ini mengabadikan kedatangan teknologi asing, sama seperti lukisan-lukisan pada permukaan batu karya masyarakat pribumi Australia di daerah Tanah Arnhem yang mengabadikan kedatangan bangsa Eropa. Ukiran kereta pada stupa-stupa Sanci, yang tampak mirip sekali dengan kereta sungguhan, diperkirakan berasal dari abad pertama Pramasehi.
Rata kuil adalah kereta atau gerobak kayu yang dihela orang dengan tambang, tetapi dapat pula dihela kuda atau gajah. Rata lebih banyak digunakan kuil-kuil Hindu di India Selatan dalam upacara Ratoutsawa (Perhelatan Rata). Dalam perhelatan tersebut, arca dewa-dewi dikeluarkan dari kuil dan diarak sepanjang jalan, diiringi lantunan mantra, gita puja, seloka, atau bajana.
Rata Yatra adalah perhelatan agama Hindu yang diselenggarakan pada bulan Juni atau Juli untuk memuliakan Sang Hyang Jaganata di kota Puri, Negara Bagian Odisa, India.
Di sejumlah kuil Hindu, terdapat gedung atau balai suci yang disebut "rata" lantaran menyerupai sebuah kereta raksasa atau karena menampung arca dewata layaknya sebuah rata kuil. Yang paling terkenal adalah gugusan balai Panca Rata di Mahabalipuram, yang disebut "rata" sekalipun tidak menyerupai rata.
Contoh lainnya adalah balai Jagamohana Candi Surya di Konarka, yang dibangun di atas batur berukiran roda-roda, lambang rata Sang Hyang Surya.
Dalam arsitektur rumah ibadat Hindu, rata adalah bidang atau sisi tegak yang menjorok pada bangunan menara, biasanya pada Sikara.