Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Sadruddin Aga Khan di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
Pangeran Sadruddin Aga Khan | |
---|---|
Lahir | Paris, Prancis | 17 Januari 1933
Meninggal | 12 Mei 2003 Boston, Massachusetts, Amerika Serikat | (umur 70)
Sebab meninggal | Kanker |
Almamater | Harvard College |
Suami/istri | Nina Dyer (m.1957–1962) Catherine Aleya Sursock (m.1972–2003) |
Orang tua | Aga Khan III (ayah) Andrée Joséphine Carron (ibu) |
Penghargaan
|
Sadruddin Aga Khan KCSS (bahasa Urdu: صدرالّدين آغا خان, Ṣadr ad-Dīn Āghā Khān, 17 Januari 1933 – 12 Mei 2003) adalah tokoh vital di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi tahun 1966 hingga tahun 1978 di badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) saat menjabat sebagai Komisaris Tinggi. Ia mengubah sumber daya UNHCR yang sebelumnya hanya diperuntukkan untuk pengungsi di Eropa Timur menjadi non diskriminatif dan melayani semua dengan tidak membedakan perlakuan antara pengungsi di Eropa dan pengungsi di negara dunia ketiga. Kepemimpinannya mempersiapkan UNHCR mengubah tata cara dasar menangani pengungsi internasional antar-negara. Masalah-masalah yang ia tangani termasuk pengungsi Palestina, Vietnam, Angola, dan Aljazair.
Dia juga mendukung kerjasama yang lebih luas antara organisasi non-pemerintah (LSM) dan badan-badan PBB. Minat Pangeran dalam masalah-masalah lingkungan membuatnya mendirikan Yayasan Bellerive pada akhir tahun 1970-an. Pangeran Sadruddin juga dikenal sebagai kolektor seni Islam yang memiliki pengetahuan yang sangat baik mengenai hal tersebut.
Lahir di Paris, Prancis, ia adalah anak dari Aga Khan III dan Putri Andrée Aga Khan. Ia menikah dua kali, tetapi tidak memiliki anak sendiri. Pangeran Sadruddin meninggal karena kanker pada usia 70, dan dimakamkan di Swiss.
Lahir di Neuilly-sur-Seine, Prancis, ia merupakan anak tunggal dari Sri Sultan Mahomed Shah Aga Khan III dan istri kedua kelahiran Prancis-nya, Andrée Joséphine Carron. Ia meraih pendidikan awalnya di Lausanne, Swiss, sebelum lulus dari Phi Beta Kappa pada 1954 dari Harvard College.[1] Di Harvard, ia tinggal di Eliot House dengan Paul Matisse, cucu artis Prancis Henri Matisse, dengan kelak pendiri Paris Review George Plimpton dan John Train, dan dengan Stephen Joyce, cucu penulis Irlandia James Joyce.[2] Bersama dengan Plimpton, ia menjadi penyunting untuk Harvard Lampoon. Setelah tiga tahun riset pasca-kelulusan di Harvard Center untuk Studi-Studi Timur Tengah, Pangeran Sadruddin mulai berkarier dalam pelayanan internasional.[3][4]
Meskipun ia dibesarkan di Eropa oleh ibu Prancisnya, ayahnya, yang merupakan Imam pewaris ke-48 dari Muslim Ismaili Nizari, memiliki pengaruh kuat padanya. Ia mengatakan bahwa ayahnya "menyuruhku untuk memahami al-Qur'an dan mendorongku untuk memahami tradisi dasar dan kepercayaan Islam tanpa memaksakan pandangan tertentu. Ia merupakan pribadi yang luar biasa namun berpikiran terbuka dan liberal."[5]
Bersama dengan ayahnya, Pangeran Sadruddin mengunjungi negara-negara Muslim, bertemu dengan sesama Muslim pada usia muda. Ia menyebut Iran sebagai bagian dari keluarganya, meskipun ia tak pernah tinggal disana.[6] Pada masa kecil, nenek pihak ayahnya membacakannya puisi-puisi epik besar tentang sejarah Persia.[5] Ia memegang kewarganegaraan Prancis, Iran, dan Swiss, dan dapat berbicara dalam bahasa Prancis, Inggris, Jerman dan Italia, serta juga sedikit memahami bahasa Persia dan Arab.[7]
Pangeran Sadruddin bergabung dengan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (bahasa Inggris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, disingkat UNESCO) pada 1958, dan menjadi Sekretaris Eksekutif untuk Komite Tindakan Internasional-nya untuk Pengurusan Nubia pada 1961. Inisiatif tersebut dibawa bersama dengan para arkeolog dari Eropa Timur dan barat pada puncak Perang Dingin. Pembangunan Bendungan Aswan mengancam harta karun Mesir kuno yang meliputi Abu Simbel, kuil Philae dan Kalabsha, dan gereja-gereja Kristen di Nubia.[6][8] Ia kemudian menyebutnya sebagai "salah satu prestasi besar UNESCO" karena memperjuangkan konteks sejarah tempat bangunan tersebut berada—dalam sebagian ketegangan yang terjadi di Timur Tengah dan Perang Dingin.[6]
Pangeran Sadruddin mulai menjadi Duta Khusus Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (bahasa Inggris: United Nations High Commissioner for Refugees, disingkat UNHCR) pada 1959 dengan fokus pada Tahun Pengungsi Dunia (1959–1960).[9] Inisiatif tersebut menjadi dikenal untuk Rencana Perangko-nya, sebuah program filateli yang mengumpulkan dana melalui negara-negara anggota PBB, serta dukungan Kesatuan Pos Sedunia. Pada masa tersebut, sumber daya UNHCR umumnya berdokus pada mendukung para pengungsi yang melintas dari Eropa Timur.[6]
Pada Januari 1966, Pangeran Sadruddin dilantik menjadi Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi setelah menjabat selama tiga tahun sebagai Deputi Komisioner Tinggi. Pada usia 33 tahun, ia menjadi orang termuda yang memimpin UNHCR.[10] Selama dua belas tahun berikutnya, ia memimpin agensi pengungsi PBB melalui salah satu periode tersulitnya, mengurusi tanggapan internasional terhadap krisis Bangladesh 1971 yang menimpa 10 juta orang, eksodus 1972 ratusan ribu Hutu dari Burundi ke Tanzania, dan tragedi orang perahu Vietnam pada pertengahan 1970an. Pada 1972, Pangeran Sadruddin memainkan peran penting dalam menemukan tempat tinggal baru bagi sepuluh ribu orang Asia Selatan yang diusir dari Uganda oleh Idi Amin.[10]
Keputusan Pangeran Sadruddin tidak mendiskriminasi antara pengungsi Dunia Ketiga dan Eropa dalam membantu UNHCR untuk membuat keputusan dalam menempatkan orang-orang terusir di dunia. Pada 1950an, antara 200.000 dan 300.000 pengungsi Eropa meminta bantuan. Pada 1970an, masalah pengungsi Eropa sebagian besar terselesaikan, namun digantikan oleh jutaan orang terusir di Dunia Ketiga. Ia mengalihkan mandat UNHCR dari fokus aslinya di Eropa Timur, ke arah para pengungsi dari teritorial Palestina, Vietnam, Angola dan Aljazair.[10] Karena skala dan kompeksitas masalah pengungsi masih meningkat, UNHCR dan komunitas besar internasional berupaya untuk beradaptasi.[6] Pada akhir 1977 saat ia memilih untuk turun jabatan, ia menjadi Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi yang paling lama menjabat.[1] Ia masih memegang berbagai layanan yang berkaitan dengan situasi kemanusiaan atas perantaraan PBB.
Sejak 1978, Pangeran Sadruddin memegang berbagai jabatan: Konsultan Khusus dan Chargé de Mission untuk Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pelapor Khusus Komisi Hak Asasi Manusia PBB dan Konvenor dan salah satu Ketua Komisi Independen Masalah-Masalah Kemanusiaan Internasional dan Kelompok Pekerja Independen pada Dewan Keuangan Darurat PBB. Ia kemudian menjadi Koordinator untuk Program Bantuan Ekonomi dan Kemanusiaan PBB Terkait Masyarakat Afghanistan dan Delegasi Eksekutif Sekretaris-Jenderal untuk Program Kemanusiaan Antar-Agensi PBB, yang mengurusi masalah wilayah perbatasan Irak.[4][11]
Pelantikannya pada September 1990 sebagai Perwakilan Pribadi Sekretaris-Jenderal PBB untuk Bantuan Kemanusiaan Terkait Krisis antara Irak dan Kuwait[12] melalui hubungan diplomatik. Presiden Irak Saddam Hussein sangat mencurigai PBB, dan menduga organisasi tersebut bakal memanfaatkan masyarakat Muslim Syiah di negara tersebut. Di samping itu, Pangeran Sadruddin berhasil bernegosiasi dengan Menteri Luar Negeri Tariq Aziz untuk pembentukan program pemulihan PBB untuk sepuluh ribu Muslim Syiah yang terperangkap dalam kondisi yang memburuk di wilayah selatan Irak.[1]
Pangeran Sadruddin dinominasikan dan dimajukan dua kali untuk jabatan Sekretaris-Jenderal PBB. Meskipun ia memenangkan pemilihan 1981, Uni Soviet menganggapnya terlalu kebarat-baratan dan melayangkan keberatan terhadap pemilihan tersebut.[3] Saat ia dinominasikan kembali pada 1991, Amerika Serikat dan Inggris mengekspresikan ketidaksukaannya dengan kepercayaannya dalam kebijakan mendukung bantuan ke Irak.[3]
Pada 1977, Pangeran Sadruddin, bersama dengan Denis de Rougemont dan beberapa teman lainnya, mendirikan sebuah wadah pemikir yang berbasis di Jenewa, Groupe de Bellerive (mengambil nama dari Bellerive, sebuah munisipalitas yang menjadi tempat tinggalnya di Jenewa), dan sebuah organisasi non-profit, Yayasan Bellerive. Yayasan tersebut berkolaborasi dengan lembaga-lembaga internasional, organisasi-organisasi bantuan bilateral Inggris dan Skandinavia, dan organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya seperti World Wide Fund for Nature (WWF).[6] Organisasi tersebut menjadi kelompok aksi akar rumput utama yang mempromosikan perlindungan lingkungan hidup, konservasi sumber daya alam dan pengamanan hidup dalam seluruh bentuknya.
Awalnya, Bellerive bekerja dengan UNICEF dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam perjuangan melawan deforestasi. Pangeran Sadruddin dimotivasi menjadi bagian dalam apa yang ia sebut "para pengungsi ekologi", yang terpaksa meninggalkan kawasan-kawasan yang tidak mampu menopang hidup mereka karena desertifikasi dan perubahan lingkungan hidup lainnya. Yayasan tersebut bekerja dengan para pakar Swiss untuk mengembangkan kompor masak dengan energi yang efisien dan berbiaya rendah yang menggunakan sumber-sumber energi terbarukan seperti metana dan biogas. Produk tersebut didistribusikan ke penduduk pedesaan yang membutuhkan, utamanya Afrika. Masalah-masalah lainnya yang disoroti Bellerive meliputi penggunaan senjata nuklir, dan perlindungan spesies terancam.[6]
Sebagai warga Swiss, Pangeran Sadruddin mengurusi dampak pengembanvan pariwisata insensitif dan deforestasi pada Pegunungan Alpen Eropa. Di Forum Ekonomi Dunia pada 1990, ia meluncurkan Alp Action untuk melindungi ekosistem gunung tersebut dan menyajikan keragaman dan vitalitas budaya Alpen. Program Yayasan Bellerive tersebut berjenis eko-pariwisata, yang bertujuan untuk mengurangi dampak olahraga petualangan luar ruangan pada habitat liar pegunungan. Pada tahun-tahun operasinya, Alp Action berhasil meluncurkan lebih dari 140 proyek di tujuh negara.[13] Keguatan tersebut menemukan inspirasj dalam sistem taman nasional Bebatuan Kanada.[7]
Sebagai orang kepercayaan berjangka panjang dan mantan Wakil Presiden World Wide Fund for Nature International, Pangeran Sadruddin membawakan dukungan Bellerive untuk spesies terancam. Bellerive juga merupakan salah satu organisasi pertama yang memperingatkan bahaya kesehatan manusia yang potensial pada metode-metode pertanian intensif modern.[7]
Pada Mei 2006, segala aktivitas Yayasan Bellerive digabung dengan Yayasan Aga Khan yang berbasis di Jenewa (didirikan pada 1967 oleh keponakan Pangeran Sadruddin Karim Aga Khan IV) untuk membentuk Yayasan Pangeran Sadruddin Aga Khan untuk Lingkungan Hidup.[14] Dana US$10 juta digelontorkan untuk mencari praktik solusi untuk masalah lingkungan hidup. Yayasan tersebut mengkonsentrasikan aktivitasnya dalam enam ranah yang dianggap berpengaruh bagi Pangeran Sadruddin: pendidikan lingkungan hidup; pengolahan sumber daya alam di zona-zona rawan; taman-taman alam dan suaka margasatwa; infrastruktur pariwisata yang mendukung budaya dan lingkungan hidup; kesehatan lingkungan hidup; dan riset.[14]
Pangeran Sadruddin meninggal karena kanker di Boston, Massachusetts, pada 12 Mei 2003,[3][7] yang secara kebetulan berada pada tanggal yang sama dengan tanggal kematian kakak tirinya Pangeran Aly Khan pada 43 tahun sebelumnya. Jenazahnya dibawa ke Swiss, tempat para anggota diplomatik, pejabat pemerintah dan teman dekat diundang untuk memberi penghormatan terakhir mereka di Château de Bellerive, dan menandatangani buku belasungkawa di berbagai tempat di seluruh dunia.[15] Ruud Lubbers, Komisioner Tinggi UNHCR pada waktu itu, mengekspresikan kesedihan dari UNHCR dan komunitas kemanusiaan secara keseluruhan, dengan menyatakan bahwa "ia meninggalkan cetakan tak terhapus pada sejarah UNHCR—memimpin agensi tersebut melalui beberapa peristiwa paling menantang. Nama Sadruddin menjadi sinonim dengan UNHCR."[10]
Sesuai dengan permintaannya, pemakaman Pangeran Sadruddin diadakan pada sebuah upacara pribadi yang dihadiri oleh para anggota keluarganya.[3][7][15] Upacara Muslim tradisional dipimpin oleh Sheikh Ahmed Ahmed Ibrahim, yang memimpin salat di mausoleum ayah Pangeran tersebut, Aga Khan III, di Aswan, Mesir. Penghormatan terakhir dilakukan dengan upacara panahan di Château de Bellerive, sebelum dikubur di pemakaman lokal Collonge-Bellerive.[16] Sebuah karangan bunga dari Kanton Jenewa tertulis: "Tujuan keluarga dari bangsawan tinggi Persia ini, yang merupakan keturunan dari Nabi Muhammad, terhubung dengan kota kecil Eropa ini dan proyek ambisius untuk meningkatkan kondisi manusia."[16]
Komunitas Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenang kepergian Pangeran Sadruddin di sebuah acara berkabung yang diadakan untuk menghormatinya di markas besarnya di New York pada 28 Oktober 2003. Ia dikenal karena mempersembahkan moral dan sisi terarah dari komunitas internasional.[17] Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada waktu itu Kofi Annan menyatakan bahwa "ia mencampur tanggapan untuk umat manusia dengan sorotan terhadap lingkungan hidup kami. Ia bekerja atas perantara orang miskin dan terpinggirkan, sesambil merayakan kemanusiaan melalui budaya dan seni."[17] Ia memberikan pujiannya kepada Pangeran Sadruddin sebagai "sebuah model perang untuk beberapa orang ... contohnya akan tetap menginspirasi masyarakat dunia baru untuk beberapa generasi mendatang."[17]
Ia meninggalkan istrinya yang berusia 31 tahun, Putri Catherine; tiga putra tirinya Alexandre, Marc dan Nicolas; beserta keponakan dan kemenakannya Pangeran Karim, Pangeran Amyn dan Putri Yasmin; dan sepupunya Mme. Francoise Carron.[15] Pangeran Sadruddin dan Putri Catherine berharap jenazah mereka dimakamkan di tanah Muslim di Mesir.[16]
Kehidupan Pangeran Sadruddin sangat dipengaruhi oleh warisan budaya dan para anggota keluarganya. Ia mengklaim bahwa garis keturunan pihak ayahnya bermula dari Muhammad, Nabi Islam, melalui putri Nabi Fatima dan sepupunya Ali. Nenek Pangeran Sadruddin adalah cucu dari Kaisar Qajar Fath'Ali Shah.[4]
Pelayanan internasional merupakan tradisi keluarga, dan sepanjang hidupnya, Pangeran Sadruddin dikelilingi olehnya. Ayahnya memegang jabatan-jabatan penting di India Britania.[18] Ia juga menjabat dua kali sebagai Presiden Liga Bangsa-Bangsa.[3] Kakak tiri Pangeran Sadruddin, Pangeran Aly Khan, adalah Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pangeran Karim Aga Khan IV, Imam Muslim Ismaili ke-49 dan sekarang Aga Khan, merupakan keponakan Pangeran Sadruddin dan pendiri dan ketua Jaringan Pengembangan Aga Khan. Saudaranya, Pangeran Amyn, sebelumnya bekerja dengab Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelum bergabung dengan sekretariat Aga Khan.[19] Selain itu, kemenakan Sadruddin Putri Yasmin, mengabdikan dirinya sendiri untuk bertarung melawan wabah Alzheimer.[20]
Pangeran Sadruddin memiliki minat terhadap budaya, yang meliputi musik, seni dan sastra. Ia merupakan figur familiar pada festival-festival musik dan acara-acara kebudayaan lainnya, baik di Eropa maupun luar negeri. Perhatiannya terhadap lingkungan hidup bermula pada kegemarannya pada kegiatan di luar ruangan; ia gemar bermain ski dan melakukan pelayaran.[4] Saat masih di Harvard pada 1953, Pangeran Sadruddin mendirikan penerbitan Paris Review,[21] yang didirikan dalam rangka mengirimkan karya kreatif asli kepada masyarakat. Setiap tahun, penghargaan Ulasan Penghargaan Aga Khan untuk Karya Fiksi (didirikan oleh ayahnya[21]) dianugerahkan untuk cerita pendek terbaik yang diterbitkan tahun lampau.
Pada 27 Agustus 1957, di Bellerive, Swiss, Pangeran Sadruddin menikahi Nina Dyer (1930–1965). Sebagai seorang peraga mode Inggris-India, ia merupakan mantan istri dari Baron Hans Heinrich Thyssen-Bornemisza. Ia berpindah ke Islam, mengambil nama "Shirin" (artinya "rasa manis").[22] Mereka tak memiliki anak dan bercerai pada 1962.
Pernikahan keduanya diadakan pada November 1972, di Hindia Barat Britania. Ia menikahi Catherine Aleya Beriketti Sursock yang lahir di Iskandariyah, Mesir pada 1938. Ia awalnya merupakan istri aristokrat Lebanon Cyril Sursock (putra dari Nicolas Sursock dan Donna Vittoria Palazzo Serra di Cassano). Ia dan Pangeran Sadruddin tidak memiliki anak, namun dari pernikahan tersebut ia meraih tiga anak tiri: Alexandre Sursock (menikah dengan Putri Thailand Mom Rajawongse Charuvan Rangsit Prayurasakdi), Marc Sursock dan Nicolas Sursock.[23]
Pada masa hidupnya, Pangeran Sadruddin menjadi salah satu kolektor seni rupa Islam pribadi di dunia.[24] Ia menjadi seorang kolektor yang berpengetahuan dan memiliki kegemaran, mengumpulkan koleksi berharga rendah dari lukisan, gambar, naskah dan miniatur selama 50 tahun.[5] Ia juga mengumpulkan koleksi seni rupa Afrika dan primitif yang beberapa ia jual sebelum 1985.[4][24]
Kegemaran Pangeran Sadruddin terhadap seni rupa Islam bermula pada masa mudanya saat mengunjungi perpustakaan nenek pihak ayahnya yang berisi catatan-catatan astrologi, teks-teks mistis dan buku-buku Persia.[1] Saat berada di Harvard pada 1950an, ia datang ke New York, dan kemudian mulai menemui para diler di Paris, Jenewa dan London. Ia giat melakukan penawaran dengan Sotheby's dan Christie's di Eropa dan Amerika utara, Untuk nasihat, ia mengandalkan temannya Stuart Cary Welch, seorang sejarawan seni rupa Islam terkenal di Universitas Harvard.[24]
Koleksinya banyak dan beragam, dan meliputi karya-karya Arab, Persia, Turki, dan India yang berasal dari abad ke-10. Contohnya adalah sebuah halaman al-Qur'an dari Afrika Utara yang ditulis dengan huruf emas dalam aksara Kufic – karya tersebut berusia lebih dari 1,000 tahun. Silsilah Persia Pangeran Sadruddin ditampilkan dalam kaligrafi serta spesimen piktoral yang merefleksikan serangkaian periode dan dinasti. Selain itu, koleksi tersebut meliputi beberapa contoh kaligrafi, naskah dan lukisan Utsmaniyah.[24]
Sepanjang tahun, sebagian koleksinya dipamerkan di New York, London, dan Zurich, dalam sebuah acara tur, "Princes, Poets and Paladins",[25] yang diadakan oleh British Museum pada 1998.[1][5] Koleksi lengkap tersebut disimpan di sebuah museum yang didirikan oleh keponakan Pangeran Sadruddin, Aga Khan, di Toronto.[4][26]
Pangeran Sadruddin meraih beberapa gelar doktor kehormatan dan penghargaan nasional dari negara-negara yang berbeda seperti Pakistan, Polandia dan Vatikan, serta Penghargaan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.[10] Ia terpilih menjadi Anggota Kehormatan Asing American Academy of Arts and Sciences pada 1991.[27] Ia dianugerahi Bourgeois d'Honneur de Geneve,[28] dilantik menjadi Commandeur Légion d'honneur dari Prancis dan Komandan Kesatria Ordo Santo Silvester (KCSS) dari Tahta Suci, dan merupakan seorang penerima Ordo Nil dari Mesir.[3] Selain itu, ia dilantik menjadi Knight Commander of the Order of the British Empire (KBE), atas jasa-jasanya pada bidang kemanusiaan dan seni rupa.[1] Ia menjadi warga kehormatan Patmos, Yunani, tempat ia memiliki sebuah rumah.[29]
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Félix Schnyder |
Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi 1966–1977 |
Diteruskan oleh: Poul Hartling |