Orang Sakya yang paling terkenal adalah Siddharta Gautama Sakya, yang merupakan pendiri Agama Buddha (sekitar abad ke-6 hingga ke-4 SM) dan kemudian dikenal sebagai Buddha Gautama.[note 2] Siddharta adalah putra dari Śuddhodana, pemimpin terpilih dari Śākya Gaṇarājya.
Orang-orang Sakya juga disebutkan dalam kitab-kitab Buddhis kemudian, termasuk Mahāvastu (sekitar akhir abad ke-2 SM), Buddhaghoṣa, dan Sumaṅgalavilāsinī, sebuah kitab komentar oleh Buddhaghoṣa mengenai Digha Nikaya (sekitar abad ke-5 M), sebagian besar dalam catatan mengenai kelahiran Buddha, sebagai bagian dari Adicchabandhu (kerabat surya)[8] atau Ādichcha dan sebagai keturunan dari raja legendaris Ikswaku:
Pada suatu ketika, di sana hidup seorang raja Śākya, seorang keturunan ras surya, yang bernama Suddhodana. Dia murni dalam perilaku, dan dicintai Śākya seperti bulan di musim gugur. DIa memiliki seorang istri, anggun, cantik, dan setia, yang bernama Maya Agung, karena kemiripannya dengan Maya sang Dewi.
Karya Buddhaghoṣa (II, 1–24) menelusuri asal-usul orang-orang Sakya kepada Raja Ikswaku dan memberikan silsilah mereka dari Maha Sammata, leluhur Ikswaku. Daftar ini terdiri dari nama sejumlah raja terkenal dari Dinasti Ikswaku, yang mencakup Mandhata dan Sagara.[8] Menurut kitab ini, Okkamukha adalah putra sulung Ikswaku. Sivisamjaya dan Sihassara adalah putra dan cucu laki-laki Okkamukha. Raja Sihassara memiliki delapan puluh dua ribu putra dan cucu laki-laki, yang bersama-sama dikenal sebagai orang-orang Sakya. Putra bungsu Sihassara adalah Jayasena. Jayasena memiliki seorang putra, Sihahanu, dan seorang putri, Yashodhara (jangan dikelirukan dengan istri pangeran Siddharta), yang menikah dengan Devadahasakka. Devadahasakka memiliki dua putri, Anjana dan Kaccana. Sihahanu menikahi Kaccana, dan mereka memiliki lima putra dan dua putri; Suddhodana adalah salah satunya. Suddhodana memiliki dua ratu, Maya dan Prajapati, keduanya adalah anak perempuan Anjana. Siddharta (Buddha Gautama) adalah putra Suddhodana dan Maya. Rahula adalah putra Siddharta dan Yashodara (juga dikenal sebagai Bhaddakaccana), putri dari Suppabuddha dan cucu perempuan Añjana.[9]
Republik Sakya berjalan sebagai sebuah oligarki,[note 1] diperintah oleh sebuah dewan elite dari golongan prajurit dan menteri yang memilih pemimpinnya.[19][20][21][22]
Menurut Mahāvastu dan Sutra Lalitavistara, pusat administrasi pemerintahan Sakhya adalah santhagara ("balai pertemuan") di Kapilavastu. Sebuah bangunan baru untuk santhagara Sakya dibangun pada masa Buddha Gautama, yang diresmikan olehnya.
Otoritas administrasi pemerintahan tertinggi adalah sidharth, yang terdiri dari 500 anggota, yang bertemu di santhagara untuk membahas dan menyelesaikan perkara penting. Shakya Parishad dipimpin oleh seorang raja terpilih, yang memimpin pertemuan tersebut.[8]
Gyan Swarup Gupta, Jayant Gadkari and the Encyclopedia Britannica menggunakan istilah oligarki.[12][13][14]
Stephen Batchelor merujuk kepada Sakya (menggunakan ejaan alternatif Sakiya) sebagai "sebuah republik oligarkis yang agung."[15]
Kurt Spellmeyer: "Maka, kata terbaik untuk menggambarkan pemerintahan Sakya mungkin bukan 'republik' sama sekali. 'Oligarki' mungkin suatu pilihan yang lebih tepat: pemerintahan oleh elite."[16]
Pankaj Mishra: "Buddha kemungkinan besar bukan seorang pangeran, namun seorang anggota oligarki republik."[17]
Kenneth Pletcher, secara khusus merujuk pada Sakya dan negara-negara lain yang disebutkan: "fakta bahwa keterwakilan di majelis negara-negara yang terakhir ini terbatas pada anggota klan yang berkuasa menciptakan istilah oligarki, atau bahkan "kepala suku" lebih cocok."[18]
^Beberapa cerita mengenai Buddha, kehidupannya, ajarannya, dan klaim tentang masyarakat di mana dia tumbuh mungkin telah ditemukan dan diinterpolasi di kemudian hari ke dalam kitab-kitab Buddhis.[6][7]
^per J. F. Fleet, "The Inscription on the Piprawa Vase", Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, in Pāli, "Sākiya" is used primarily to refer to people of Shakya in general; "Sakka", primarily to the Shakya country as well as to its noble families; and "Sakya", primarily to members of the Buddhist order.
Rhys Davids, C.A.F. 1926. ‘Man as Willer.’ Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 4: 29-44.
Silk, Jonathan A. 2008 ‘Putative Persian perversities: Indian Buddhist condemnations of Zoroastrian close-kin marriage in context.’ Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 71: pp 433–464.