Seonjo | |
---|---|
Raja Joseon | |
Berkuasa | 1567∼1608 |
Pendahulu | Myeongjong |
Keturunan | Gwanghaegun |
Wangsa | Wangsa Yi |
Ayah | Deokheung Daewongun |
Ibu | Hadongbu Daebuin Jeong |
Seonjo dari Joseon | |
Hangul | 선조 |
---|---|
Hanja | |
Alih Aksara | Seonjo |
McCune–Reischauer | Sŏn-jo |
Nama lahir | |
Hangul | 이연 |
Hanja | 李蚣 |
Alih Aksara | I Yeon |
McCune–Reischauer | Yi Yŏn |
Seonjo (26 November 1552-16 Maret 1608) (bertakhta 1567-1608), merupakan raja ke empat belas Dinasti Joseon, Korea. Ia dikenal atas dukungannya kepada Konfusianisme dan memperbaharui urusan-urusan negara di awal masa pemerintahannya, meskipun politik porak poranda dan kepemimpinannya yang lemah selama serangan Jepang ke Korea merusak masa-masa akhir pemerintahannya.[1]
Raja Seonjo lahir sebagai Yi Yeon pada tahun 1552 di Hanseong, ibu kota Korea, sebagai putra ketiga Deokheung Daewongun (대원군)[2] Ia diberikan gelar Pangeran Haseong, dan ketika Raja Myeongjong mati muda tanpa seorang ahli waris, Haseong menjadi calon raja atas keputusan istana kerajaan, jadi ia dimahkotai sebagai raja pada tahun 1567 pada usia 16 tahun.[1][3]
Raja Seonjo fokus pada perkembangan hidup rakyat biasa, juga membangun kembali negara setelah korupsi politik selama pemerintah Yeonsangun dan Raja Jungjong yang kacau. Ia mendukung sarjana-sarjana Sarim, yang telah dianiaya oleh kaum bangsawan di dalam empat pembersihan berbeda di antara tahun 1498 dan tahun 1545 selama pemerintahan Yeosangun dan Jungjong. Seonjo melanjutkan reformasi politik Raja Myeongjong, dan menaruh banyak sarjana-sarjana Konfusianisme, termasuk Yi Hwang, Yi I, Jeong Cheol, dan Yu Seong-ryong, di dalam kantor.[1]
Seonjo juga mereformasi sistem ujian pelayanan sipil, terutama kualifikasi ujian resmi sipil. Ujian yang lalu kebanyakan mengenai sastra, bukan politik atau sejarah. Raja sendiri memerintahkan sistem itu direformasi dengan meningkatkan kepentingan subyek-subyek lainnya. Ia juga mengembalikan reputasi sarjana-sarjana yang telah di eksekusi seperti Jo Gwang-jo, yang gugur di dalam Pembersihan Literati Ketiga tahun 1519, dan mencela pencapaian aristokrat yang korup, terutama Nam Gon, yang menghasut pembersihan di bawah Jungjong dan memberikan kontribusi besar terhadap korupsi waktu itu. Tindakan ini membuat masyarakat umum menghormati raja, dan negara menikmati era singkat perdamaian.[1][4]
Di antara para sarjana yang dipanggil Raja Seonjo ke pemerintahan adalah Sim Ui-gyeom dan Kim Hyowon. Sim adalah kerabat ratu, dan konservatif berat.[5] Kim merupakan seorang figur pemimpin dari generasi baru para pejabat, dan dipanggil atas reformasi bebasnya.[6] Para sarjana yang mendukung Raja Seonjo mulai terpisah menjadi dua fraksi, yang dipimpin oleh Sim dan Kim. Anggota-anggota dua fraksi tersebut bahkan tinggal di lingkungan yang sama; fraksi Sim tinggal di bagian barat kota dan pengikut Kim berada di bagian timur. Sebagai konsekuennya kedua fraksi itu disebut sebagai Fraksi Barat dan Fraksi Timur; sistem politik kedua fraksi ini berlangsung selama 400 tahun dan kemudian membantu membawa keruntuhan dinasti.[3][4]
Mulanya anggota Fraksi Barat mendapatkan simpati dari raja, karena Sim memiliki hubungan dengan ratu dan juga memiliki dukungan yang lebih besar dari para bangsawan yang kaya raya. Namun, sikap mereka atas reformasi dan keraguan Sim membantu Fraksi Barat mendapatkan kekuasaan, dan Fraksi Barat tersebut kehilangan kepercayaan. Reformasi ini dipercepat selama periode pertama pengaruh Fraksi Timur, tetapi kemudian banyak anggota dari Fraksi Timur mulai mendesak yang lainnya untuk memperlambat reformasi tersebut. Fraksi Timur sekali lagi dibagi menjadi Fraksi Utara dan Selatan. Yu Seong-ryong memimpin fraksi Selatan ketika Fraksi Utara bahkan dibagi lebih jauh lagi setelah perdebatan atas banyak hal; Fraksi Utara Besar merupakan fraksi yang berhaluan radikal, dan Fraksi Utara Kecil memiliki sedikit pikiran untuk bereformasi daripada Fraksi Utara Kecil, tetapi masih lebih berhaluan radikal daripada Fraksi Selatan.[3]
Perpecahan politik itu menyebabkan negara menjadi lemah, karena jumlah dari pasukan militer juga menjadi salah satu permasalahan dalam agenda untuk direformasi. Yi I, seorang konservatif yang netral, mendesak raja untuk meningkatkan jumlah pasukan dengan maksud mempersiapkan diri menghadapi serangan pada masa yang akan datang dari Jurchen dan Jepang. Bagaimanapun juga, kedua faksi menolak usulan Yi, dan jumlah dari pasukan justru dikurangi nantinya karena banyak yang percaya kalau masa damai akan terus berlangsung. Jurchens dan Jepang menggunakan kesempatan ini untuk mengembangkan pengaruh mereka di Asia Timur, menyebabkan Perang Tujuh Tahun, dan mendasari pendirian dari Dinasti Qing di Tiongkok, keduanya yang mana akan menyebabkan kehancuran dari Semenanjung Korea
Raja Seonjo menghadapi banyak kesulitan dalam berurusan dengan kedua ancaman baru ini, mengirimkan banyak komandan militer yang berpengalaman ke perbatasan Utara, sementara juga menghadapi para pemimpin Jepang Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu, di bagian selatan. Bagaimanapun juga, setelah Toyotomi Hideyoshi mempersatukan Jepang, Jepang segera membuktikan diri mereka akan menjadi ancaman yang lebih besar; dan banyak orang Korea mulai takut kalau negeri mereka akan diambil alih oleh Jepang. Banyak pejabat mencemaskan pertahanan dari kerajaan, mendesak raja untuk mengirim para delegasi ke Hideyoshi, tujuan utama mereka adalah untuk mencari tahu apakah Hideyoshi sedang mempersiapkan untuk invasi atau tidak. Bagaimanapun juga, dua faksi pemerintahan tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai kepentingan nasional ini; sehingga sebuah persetujuan dibuat dan satu delegasi dari setiap faksi dikirim ke Hideyoshi. Ketika para utusan itu kembali ke Korea, laporan mereka justru menambahkan kontroversi dan kebingungan. Hwang Yun-gil, dari faksi Barat, melaporkan kalau Hideyoshi sedang meningkatkan jumlah pasukannya dalam jumlah yang sangat besar,[7] tapi Kim Seong-il, dari faksi Timur, memberitahu Raja kalau ia pikir pasukan yang besar ini tidak untuk digunakan berperang melawan Korea, karena Hideyoshi sedang mengusahakan menyelesaikan reformasinya dengan cepat untuk mencegah pelanggaran hukum dan menekan para bandit yang sekarang berkeliaran di pedesaan.[8] Karena faksi Timur memiliki lebih banyak suara di pemerintahan pada waktu itu, laporan dari Hwang diabaikan dan Seonjo memutuskan untuk tidak bersiap-siap perang, walaupun sikap dari Hideyoshi di suratnya yang dikirim kepada Seonjo dengan jelas menunjukkan hasratnya untuk menaklukkan Asia.[7][9]
Pada tahun 1591, setelah delegasi kembali dari Jepang, Toyotomi Hideyoshi mengirim delegasinya untuk mengunjungi Raja Seonjo, dan meminta izin untuk melewati Semenanjung Korea untuk menyerang Tiongkok, sebagai efek mengumumkan perang melawan Dinasti Joseon. Raja terperanjat; setelah menolak permintaan Jepang ia mengirimkan sepucuk surat ke Beijing untuk memberi sinyal kepada Tiongkok bahwa Jepang sebenarnya mempersiapkan perang berskala penuh melawan aliansi Korea-Tiongkok. Ia juga memerintahkan untuk mengkonstruksi banyak benteng di wilayah pesisir dan mengirim para jenderalnya Sin Rip dan Yi Il ke pantai selatan untuk mempersiapkan perang. Sewaktu bangsa Korea sibuk mempersiapkan diri mereka, Jepang memproduksi banyak senapan untuk tentara-tentara mereka, dan mengerahkan prajurit dari seluruh negeri.[9][10]
Pada tanggal 13 April, 1592, sekitar 700 kapal Jepang di bawah pimpinan Konishi Yukinaga menyerang Korea. Konishi dengan mudah membakar Benteng Busan dan Benteng Donglae, membunuh komandan-komandan Jeong Bal dan Song Sang-hyeon dan menuju ke arah utara. Pada hari berikutnya pasukannya bahkan lebih banyak lagi di bawah pimpinan Kato Kiyomasa dan Kuroda Nagamasa mendarat, juga menuju ke arah Hanyang. Armada Jepang yang besar di bawah pimpinan Todo Takatora dan Kuki Yoshitaka mendukung mereka dari laut. Jenderal Yi Il menghadapi Kato Kiyomasa di dalam Perang Sangju, yang dimenangkan oleh Jepang. Kemudian Yi Il bertemu Jenderal Sin Rip, tetapi gabungan pasukan mereka juga dikalahkan di dalam Perang Ch'ungju oleh Kato Kiyomasa. Kemudian Seonjo menunjuk Jenderal Kim Myeong-won sebagai Kepala Komandan dan Panglima Tertinggi, dan memerintahkannya untuk mempertahankan ibu kota. Kemudian raja pindah ke Pyongyang, karena Jepang mulai merebut ibu kota. Ia kemudian pindah lebih jauh lagi ke utara ke kota perbatasan Uiju tak lama sebelum Pyongyang jatuh. Ketika raja absen dari ibu kota, banyak orang yang telah kehilangan harapan di dalam pemerintah merampok istana dan membakar banyak gedung-gedung publik. Ini mengakibatkan lebih banyak lagi kerusakan dari yang telah dilakukan Jepang setelah mereka merebut kota tersebut.[9][10]
Meskipun pasukan terus kehilangan orang dan perang, angkatan laut berhasil memotong sumber bahan dari laut; Laksamana Yi Sun-sin mengalahkan armada Jepang beberapa kali dan melakukan banyak kerusakan atas kapa-kapal penyalur bahan. Dengan angkatan laut yang memblokir bahan, pasukan dari Tiongkok di bawah Jenderal Li Rusong tiba, dan mulai mendorong Jepang ke arah selatan, akhirnya merebut kembali Pyongyang. Konishi Yukinaga berhasil menahan kemajuan Tiongkok di dalam Perang Byeokjegwan, dan mencoba kembali untuk mendorong Korea ke arah utara,[11] tetapi pukulan penting datang lewat Perang Hangju, dimana Jenderal Gwon Yul mengalahkan Jepang dengan kekuatan yang jauh lebih kecil.[12] Jepang kemudian memutuskan untuk memasuki negosiasi damai, ketika kedua belah pihak masih melanjutkan perangnya. Selama negosiasi ini Korea mengambil kembali Seoul, tetapi istana-istana seluruhnya telah terbakar habis, kemudian Seonjo memperbaiki satu dari rumah-rumah kuno milik keluarga kerajaan dan menamakannya Deoksugung, menjadikannya sebagai salah satu istana resminya.[13]
Negosiasi damai antara Tiongkok dan Jepang berakhir tanpa hasil, karena kurangnya pengertian antara kedua belah pihak dan misinterpresentasi bangsa Korea. Jepang menyerang Korea lagi pada tahun 1597; namun kali ini seluruh ketiga negara siap untuk berperang, dan Jepang tidak dapat maju semudah seperti pada tahun 1592. Jepang mencoba untuk merebut Hanyang baik dari rute darat dan laut. Mulanya rencana itu kelihatannya berjalan lancar ketika Todo Takatora mengalahkan Laksamana Won Gyun di Perang Chilchonryang,[14] tetapi rencana itu diabaikan ketika angkatan laut Korea di bawah Laksamana Yi Sun-sin berhasil mengalahkan armada Jepang di bawah pimpinan Todo Takatora di dalam Perang Myeongnyang dengan hanya 13 kapal. Hasil dari pertempuran itu secara efektif mengakhiri perang selama 7 tahun, dan pada tahun 1598 Jepang akhirnya mundur dari Korea setelah kematian mendadak Toyotomi Hideyoshi. Perang Noryang menandai akhirnya perang tersebut, dengan unit terakhir Jepang di bawah pimpinan Konishi Yukinaga meninggalkan Korea.[4][9][10]
Terlepas dari semua upaya yang diletakkan Seonjo selama perang, seperti membangun fasilitas pelatihan militer dan reformasi hukum pajak - rakyat diberikan hadiah dengan kenaikan kelas sosial, pembebasan tenaga kerja atau kejahatan ditukar dengan pembayaran pajak atas beras - perang meninggalkan tanah yang hancur dan orang-orang yang kelaparan.[1] Setelah perang, keinginan untuk merekonstruksi negara terganggu oleh kekacauan politik yang disebabkan oleh faksi-faksi politik dan memerangi kelaparan.[3] Raja Seonjo kehilangan harapan untuk memerintah negara tersebut, dan membiarkan Putra Mahkota Gwanghaegun menggantikan tempatnya. Namun, ketika ratu melahirkan seorang putra (Gwanghaegun merupakan putra kedua Nyonya Kim, selir raja), suksesi juga menjadi masalah yang dipertentangkan.[15] Raja Seonjo meninggal pada tahun 1608, sedangkan divisi politik dan ancaman dari luar membuat langit masih menggelapi Korea.[3] kisah raja seonjo dan putra mahkota Gwanghaegun diceritakan dalam film the king face.raja seonjo ketika kecil juga hadir pada film the lady of prison.
Seonjo dari Joseon Lahir: 26 Desember 1552 Meninggal: 17 Maret 1608
| ||
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Myeongjong |
Raja Joseon 1567–1608 bersama dengan Gwanghaegun (1592–1608) |
Diteruskan oleh: Gwanghaegun |