Taman Nasional Baluran | |
---|---|
IUCN Kategori II (Taman Nasional) | |
Lokasi di Kabupaten Situbondo dan Jawa Timur | |
Letak | Jawa Timur, Indonesia |
Kota terdekat | Situbondo dan Banyuwangi |
Koordinat | 7°50′S 114°22′E / 7.833°S 114.367°E |
Luas | 25.000 hektare (250 km²) |
Didirikan | 1980 |
Pengunjung | 10,192 (tahun 2007[1]) |
Pihak pengelola | Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan |
Situs web | balurannationalpark |
Taman Nasional Baluran adalah salah satu taman nasional di Indonesia yang terletak di wilayah Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur, Indonesia. Namanya diambil dari nama gunung yang berada di daerah ini, yaitu Gunung Baluran. Awalnya, kawasan taman nasional ini ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun 1930 oleh Direktur Kebun Raya Bogor yang bernama K.W. Dammerman. Statusnya kemudian diubah menjadi suaka margasatwa oleh Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 25 September 1937. Penetapan ulang sebagai suaka margasatwa diadakan oleh Menteri Pertanian dan Agraria melalui Surat Keputusan Nomor. SK/II/1962 tanggal 11 Mei 1962. Status taman nasional diperoleh pada tanggal 6 Maret 1980 oleh Menteri Pertanian dan dikukuhkan lagi pada tahun 1997 oleh Menteri kehutanan. Luas lahannya seluas 25.000 ha. Taman Nasional Baluran berbatasan dengan Selat Madura di utara, Selat Bali di timur, Desa Wonorejo dan Sungai Bajulmati di selatan dan, serta Sungai Klokoran dan Desa Sumberanyar di barat. Wilayahnya dibagi menjadi zona inti seluas 12.000 Ha, zona rimba seluas 5.537 ha, zona pemanfaatan intensif seluas 800 Ha, zona pemanfaatan khusus seluas 5.780 Ha, dan zona rehabilitasi seluas 783 Ha. Pengelolaannya dibagi dua menjadi Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Bekol dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Karangtekok. Seksi wilayah I meliputi sanggraloka Bama, Lempuyang dan Perengan. Sedangkan seksi wilayah II meliputi sanggraloka Watu Numpuk, Labuhan Merak dan Bitakol.[2]
Gerbang untuk masuk ke Taman Nasional Baluran berada di 7°55'17.76"S dan 114°23'15.27"E. Taman nasional ini terdiri dari tipe vegetasi sabana, hutan mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan rawa dan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun. Tipe vegetasi sabana mendominasi kawasan Taman Nasional Baluran yakni sekitar 40 persen dari total luas lahan.
Sebelum tahun 1928 AH. Loedeboer, seorang pemburu kebangsaan Belanda yang memiliki daerah Konsesi perkebunan di Labuhan Merak dan Gunung Mesigit, pernah singgah di Baluran. Dia telah menaruh perhatian dan meyakini bahwa Baluran mempunyai nilai penting untuk perlindungan satwa, khususnya jenis mamalia besar.
Pada tahun 1930 KW. Dammerman yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor mengusulkan perlunya Baluran ditunjuk sebagai hutan lindung.
Pada tahun 1937 Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Baluran sebagai Suaka Margasatwa dengan ketetapan GB. No. 9 tanggal 25 September 1937 Stbl. 1937 No. 544.
Pada masa pasca kemerdekaan, Baluran ditetapkan kembali sebagai Suaka Margasatwa oleh Menteri Pertanian dan Agraria Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor. SK/II/1962 tanggal 11 Mei 1962.
Pada tanggal 6 Maret 1980, bertepatan dengan hari Strategi Pelestarian se-Dunia, Suaka Margasatwa Baluran oleh menteri Pertanian diumumkan sebagai Taman Nasional.[3]
Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 kawasan TN Baluran ditetapkan memiliki luas sebesar 25.000 Ha.
Sesuai dengan peruntukkannya luas kawasan tersebut dibagi menjadi beberapa zona berdasarkan SK. Dirjen PKA No. 187/Kpts./DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 yang terdiri dari:[3]
Taman Nasional Baluran secara geologi terbagi menjadi tanah pegunungan dan tanah dasar laut. Kondisi tanah pengunungan terdiri dari tanah vulkanik yang berbatu-batu. Lereng gunung cukup tinggi dan curam. Beberapa tanah pegunungani juga berjenis tanah aluvial yang dalam di dataran rendah. Sedangkan tanah dasar laut hanya ada di dataran pasir sepanjang hutan bakau. Di dataran rendah, setengah luasnya merupakan tanah hitam yang ditumbuhi rumput sabana. Tanah hitam ini membentuk daerah yang subur dan mengandung banyak mineral. Di dalam tanah kekurangan bahan organik sehingga kondisi fisik tanaman kurang baik dan berpori. Taman Nasional Baluran sebagian besar merupakan sabana. Ekosistem tidak stabil dan menyesuaikan dengan iklim dan margasatwa. Ketinggian daratannya terbagi menjadi tanah datar, tanah bergelombang dan tanah terjal. Tanah yang datar memiliki ketinggian antara 0-124 mdpl. Tanah yang bergelombang memiliki ketinggian 125-900 mdpl. Sedangkan tanah yang terjal memiliki ketinggian lebih dari 900 mdpl. Batu karang yang terjal terhampar pada garis pantai di Mesigit, Balanan dan Montor. Luas tanah datar sekitar 1.500-2.000 ha di bagian tenggara, yaitu sabana Bekol, Semiang dan sekitarnya. Tanah bergelombang mencakup daerah sekitar 8000 ha, yaitu sabana Balanan, Kramat, Talpat, Labuhan Merak, Air Tawar, Karangtekok dan sekitarnya.[4]
Taman Nasional ini memiliki sekitar 444 jenis tumbuhan dan di antaranya merupakan tumbuhan asli yang khas dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang sangat kering. Tumbuhan khas tersebut adalah:
Tumbuhan lainnya antara lain:
Di Taman Nasional ini terdapat 26 jenis mamalia, di antaranya adalah:
Satwa banteng merupakan maskot/ciri khas dari Taman Nasional Baluran.
Selain itu, terdapat sekitar 155 jenis burung, di antaranya termasuk burung langka seperti:
Taman nasional ini dibagi menjadi beberapa pos pengamatan. Pos di Taman Nasional ini antara lain:
Musim kunjungan terbaik adalah bulan Maret s/d Agustus setiap tahunnya.
Ekosistem di Taman Nasional Baluran berubah seiring pertumbuhan pesat dan penyebaran tanaman jenis asing invasif. Bagian dari ekosistem yang terubah adalah sistem hidrologi dan siklus makanan. Salah satunya adalah Acacia nilotica yang merupakan spesies asli dari Afrika. Tanaman ini pertama kali ditanam sebagai sekat bakar di Taman Nasional Baluran pada tahun 1969. Jenis tanaman ini menutupi wilayah sabana karen tumbuh dan menyebar dengan sangat cepat. Keberadaannya membuat lahan gembala banteng semakin sempit. Selain itu, satwa lain yang memanfaatkan sabana sebagai habitat juga mengalami gangguan akibat perubahan ekosistem ini.[5]