Taman Nasional Siberut taman nasional di Indonesia | ||||
---|---|---|---|---|
Tempat | ||||
Negara berdaulat | Indonesia | |||
Provinsi di Indonesia | Sumatera Barat | |||
Negara | Indonesia | |||
Geografi | ||||
Luas wilayah | 1.905 km² [convert: unit tak dikenal] | |||
Sejarah | ||||
Pembuatan | 1992 | |||
Lain-lain | ||||
Situs web | Laman resmi |
Taman Nasional Siberut adalah taman nasional yang terletak di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Luas lahan yang ditempatinya adalah 190.500 hektare. Penetapannya sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 407/Kpts-II/1993. Sebelum ditetapakan sebagai taman nasional, Pulau Siberut sudah ditetapkan sebagai cagar biosfer melalui Proyek Manusia dan Biosfer yang diadakan oleh UNESCO pada tahun 1981. Ekosistem di Taman Nasional Siberut sebagian besar merupakan hutan hujan. Kawasan zonasi di taman nasional ini ditetapkan pada tahun 2015 melalui Surat Keputusan Dirjen PHKA No. 32/IV- Set/2015. Taman Nasional Siberut secara umum terbagi menjadi zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Di dalamnya hidup sedikitnya 896 spesies tumbuhan berkayu, 31 spesies mamalia, dan 134 spesies burung. Ada empat primata endemik yang terancam punah yaitu siamang, beruk, simakobu dan lutung.[1]
Pulau Siberut merupakan salah satu pulau dari 4 pulau dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pemerintah Indonesia telah mengusulkan agar Pulau Siberut dijadikan sebagai cagar alam. Pengusulan diajukan ke UNSECO pada tahun 1981. Saat itu, Pulau Siberut masih masuk dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Kabupaten Kepulauan Mentawai baru berdiri pada tahun 1999. Pulau Siberut seluas 405.000 hektare dijadikan sebagai cagar biosfer karena memiliki keunikan flora dan 4 jenis primata endemik. Selain itu, kebudayaan Mentawai juga merupakan peninggalan neolitikum. Penetapan Pulau Siberut sebagai taman nasional diberlakukan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 1993. Wilayah yang ditetapkan seluas 190.000 hektare.[2]
Taman Nasional Siberut mempunyai kawasan yang 60% merupakan hutan. Ekosistem hutannya terbagi-bagi menjadi hutan primer campuran, hutan rawa, hutan pantai dan hutan bakau. Kondisi hutan masih terlindungi dari kegiatan manusia yang merusak. Di Taman Nasional Siberut ada empat jenis primata endemik Mentawai yaitu siamang kecil, lutung, simakobu dan beruk. Flora yang hidup sebagian besar merupakan pohon-pohon berukuran besar dengan ketinggian 60 meter dan juga ada beragam jenis anggrek.[3] Dalam Taman Nasional Siberut juga ada sedikitnya 106 jenis burung dengan sub-spesies pada 13 jenis (12%). Burung endemik yang ada yaitu celepuk mentawai. Di Taman Nasional Siberut juga ditemukan 20 jenis reptil dan 1 jenis katak endemik. Serangga-serangga ada 45 famili dengan 11 ordo. Jumlah famili kupu-kupu ada 12, dengan 45 marga dan 60 spesies.[4]
Taman Nasional Pulau Siberut mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Endemisme di taman nasional ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada di Pulau Sumatera. Keseimbangan ekosistemnya merupakan akibat dari sumber daya alam hutan daerah setempat yang hanya dimanfaatkan secara tradisional oleh penduduk asli suku Mentawai. Mereka hanya memanfaatkan hasil hutan untuk keperluan hidup sehari-hari. Penduduk asli juga cenderung mengikuti proses perkembangan hutan secara wajar. Pemanfaatan hutan melalui tahap rumpang, perkembangan dan dewasa. Pohon-pohon yang tumbuh di hutan ditanam oleh penduduk asli. Setelah tumbuh besar, penduduk asli hanya mengambil buahnya. Batang pohon tidak ditebang dan hanya dibiarkan begitu saja hingga tumbang secara alami lagi.[5]
Perubahan iklim mulai terjadi di Taman Nasional Siberut. Ini ditandai oleh adanya beberapa tanaman yang memiliki lingkar tumbuh. Jenis tanaman ini antara lain Alangium ridleyi, Anisoptera costata, Artocarpus lanceifolius, Eugenia cymosa, Nephelium cuspidatum dan Santiria sp.[6] Pemerintah Indonesia dan UNSECO memberikan perhatian yang serius terhadap Taman Nasional Siberut. Pemanfaatannya sebagai wahana pelestarian ekosistem hutan hujan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Pendekatan yang digunakan untuk mengelolanya adalah sistem kawasan perlindungan terintegrasi. Tujuan sistem ini untuk memperbaiki lingkungan hidup dan mewujudukan pembangunan berkelanjutan.[7]