Tongdosa | |
---|---|
통도사 | |
Agama | |
Afiliasi | Ordo Jogye Buddhisme Korea |
Lokasi | |
Negara | Korea Selatan |
Lokasi | Yangsan, Republik Korea |
Kriteria | Kultural: iii |
Nomor identifikasi | 1562-1 |
Pengukuhan | 2018 (Sesi ke-42) |
Tongdosa | |
Hangul | 통도사 |
---|---|
Hanja | |
Alih Aksara | Tongdosa |
McCune–Reischauer | T'ongdosa |
Tongdosa (Hanja:通度寺 atau Kuil Tongdo, "Penyelamatan Dunia melalui Penguasaan Kebenaran")[1] adalah sebuah kuil utama Ordo Jogye dalam Buddhisme Korea dan terletak di bagian selatan Gunung Chiseosan[2] dekat Yangsan, Provinsi Gyeongsang Selatan, Korea Selatan.
Tongdosa adalah salah satu dari Kuil Tiga Permata dan mewakili Buddha. (Haeinsa, juga di Provinsi Gyeongsang Selatan, mewakili Dharma atau ajaran Buddha; dan Songgwangsa di Provinsi Jeolla Selatan mewakili Sangha atau persaudaraan para biksu.)
Tongdosa terkenal karena tidak ada patung Buddha luar ruangan[3] di kuil ini karena "tempat suci Buddha yang sejati" (relik) dilestarikan di Tongdosa.[2] Halaman-halaman di kuil ini disusun mengelilingi beberapa pagoda yang menjadi tempat penyimpanan relik Buddha.[3]
Tongdosa didirikan oleh biksu Jajang setelah kembali dari Tiongkok Tang pada tahun 646,[3] pada masa pemerintahan Ratu Seondeok dari Silla. Kuil ini berkembang pesat selama periode Silla Akhir dan Goryeo, ketika Buddhisme adalah agama negara, dan tetap kukuh bahkan pada masa Joseon.
Tongdosa terkenal karena menyimpan beberapa relik Buddha sendiri, termasuk jubah, sebuah mangkuk derma biksu, dan sebuah tulang dari tengkoraknya,[3] semua relik yang dibawa pulang Jajang dari perjalanan ke Tiongkok Tang yang dilakukannya pada tahun 636 untuk belajar dengan sepuluh biksu lainnya.
Hanya satu bangunan, Balairung Mahavira (balirung puja bakti Dharma utama), selamat dari invasi Jepang ke Korea (1592-1598) pada akhir abad ke-16; bangunan-bangunan lain dibangun kembali pada periode itu. Pada pertengahan abad ke-15 di puncak kemakmurannya, Tongdosa dikatakan memiliki ratusan bangunan dan ribuan biksu.[3] Selama lebih dari 1.300 tahun Beopdeung (lilin kuil) Tongdosa tidak pernah padam.[2]
Legenda mengatakan bahwa pada saat pendirian Tongdosa, ada sembilan naga jahat yang hidup di sebuah kolam besar. Jajang memerintahkan para naga untuk pergi dengan merapal ayat-ayat suci. Mereka menolak untuk pergi sehingga Jajang menuliskan aksara Han untuk api di selembar kertas dan melemparkannya ke langit sambil menceburkan tongkat panjangnya ke dalam kolam.
Airnya mulai mendidih. Para naga tidak tahan panas sehingga tiga naga mencoba melarikan diri dan terbang, menjadi bingung, dan mati dengan menabrak sebuah tebing yang disebut Yonghyeolam ("batu darah naga"). Lima naga terbang ke barat daya menuju sebuah lembah yang sekarang disebut Oryonggok ("lembah lima naga").
Naga terakhir, yang menjadi buta karena panas, bersumpah kepada Jajang bahwa jika Jajang membiarkannya tetap hidup dan mengizinkannya tinggal di kolam selamanya, sang naga buta akan selalu menjaga kuil tersebut. Jajang mengabulkan permintaan naga dan naga itu diizinkan untuk tinggal sebagai pelindung kuil.[4][5] Kolam Sembilan Naga, sekarang disebut Guryongji, masih ada di samping balairung kuil utama.[6]