Hamengkubuwana III ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧓꧇ | |||||
---|---|---|---|---|---|
Sri Sultan Hamengkubuwana III | |||||
Sultan Yogyakarta | |||||
Bertakhta | 1810-1811,12 Juni 1812 - 3 November 1814 | ||||
Pendahulu | Sultan Hamengkubuwana II | ||||
Penerus | Sultan Hamengkubuwana IV | ||||
Kelahiran | Gusti Raden Mas Surojo 20 Februari 1769 (Malam Rabu Kliwon, 18 Syawal Dal 1694) Kraton Yogyakarta, Yogyakarta | ||||
Kematian | 3 November 1814 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta[1] | (umur 45)||||
Pemakaman | |||||
Permaisuri | Gusti Kanjeng Ratu Kencana
Gusti Kanjeng Ratu Hemas Gusti Kanjeng Ratu Wandhan | ||||
| |||||
Wangsa | Mataram | ||||
Ayah | Sultan Hamengkubuwana II | ||||
Ibu | Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton[1] | ||||
Agama | Islam |
Sri Sultan Hamengkubuwana III (20 Februari 1769 – 3 November 1814) adalah raja ketiga Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.[2]
Ia juga merupakan ayah dari Pangeran Diponegoro, tokoh yang berpengaruh dalam Perang Jawa pada tahun 1825-1830.
Di tengah-tengah penjarahan Keraton Yogyakarta, sebuah upacara disiapkan untuk merayakan penobatan Hamengkubuawana III. Upacara yang dimulai dengan parade militer yang terdiri dari infanteri, pasukan berkuda, dan artileri medan berkuda dari Madras disusun menjadi lima belas barisan diperintahkan untuk memenuhi lapangan selebar hampir seratus meter yang membentang antara Benteng Vredeburg dan kediaman residen. Tepat sebelum parade militer dimulai, tembakan senapan menggelegar sembilan belas kali untuk memberikan salut dari arah benteng dan band militer pasukan berkuda penjaga sultan yang beranggotakan orang Indo dan Ambon semakin menegaskan aura militer untuk penobatan sultan yang baru.[3]
Kapten Wlliam Colebrooke RA, yang menyaksikan upacara itu menggambarkan upacara ini sebagai "upacara yang sangat mengesankan" yang ia tulis dalam sepucuk surat untuk ayahnya, Kolonel Paulet Colebrooke RA, di Kent, Inggris.[3]
Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.
Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta setelah peristiwa pemberontakan Raden Ronggo. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.
Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.
Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:
Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Karena Hamengkubuwana masih berusia 10 tahun, maka Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja.[4] Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.[2]
Permaisuri
Permaisuri
Selir
(dan lainnya)
Anak
(dan lainnya)
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Hamengkubuwono II |
Raja Kesultanan Yogyakarta 1810-1811 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwono II |
Didahului oleh: Hamengkubuwono II |
Raja Kesultanan Yogyakarta 1812-1814 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwono IV |