Pembelot Korea Utara | |
Hangul | 탈북자 |
---|---|
Hanja | |
Alih Aksara | Talbukja |
McCune–Reischauer | T'albukcha |
Sejumlah besar warga telah meninggalkan Korea Utara setelah berakhirnya Divisi Korea dan Perang Dunia II serta pasca Perang Korea (1950-1953) dikarenakan alasan politis, ideologi dan ekonomi. Sampai sekarang banyak yang tertangkap dalam usaha mereka untuk lari dari negara itu. Para pengungsi ini umumnya menyeberang perbatasan ke Jilin dan Liaoning di Cina Timur Laut sebelum mendarat di negara ketiga, hal itu dikarenakan Republik Rakyat Tiongkok merupakan sekutu dekat Pyongyang yang menolak memberikan status kewarganegaraan kepada mereka dan menganggap mereka sebagai pendatang gelap. Para pengungsi yang tertangkap di Cina akan dikembalikan ke Korea Utara dan menerima hukuman penjara bahkan hukuman mati dari otoritas Korea Utara.
Ada banyak istilah resmi maupun tidak resmi untuk menyebut kelompok orang ini. Pada tanggal 9 Januari 2005, Menteri Unifikasi Korea Selatan mengeluarkan istilah saeteomin (새터민; "rakyat negara baru") sebagai pengganti istilah talbukja (탈북자; "orang yang lari dari utara"), sebuah istilah yang tidak disukai para petinggi Korea Utara.[1] Istilah yang paling baru adalah bukhanitaljumin (北韓離脫住民), yang bermakna lebih halus, yakni "penduduk yang meninggalkan Korea Utara".[2]
Republik Rakyat Tiongkok diperkirakan menampung antara 20.000-30.000 para pengungsi dari Korea Utara. Jumlah pengungsi semakin menurun dengan sekitar 11.000 jiwa pada akhir tahun 2008,[3][4] yang terkonsentrasi di timur laut Cina. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar populasi Korea Utara dan tidak dianggap sebagai bagian dari komunitas keturunan Korea karena tidak dihitung dalam sensus pemerintah Cina. Banyak dari mereka yang tidak berhasil mendarat ke Korea Selatan menikahi orang Korea setempat dan menetap dalam komunitas keturunan Korea. Namun mereka akan tetap dideportasi jika diketahui oleh pemerintah Cina.
Sebagian besar dari pengungsi ini ingin menuju ke Korea Selatan dengan melewati rute-rute yang jauh, seperti ke Mongolia dan lewat negara-negara Asia tenggara seperti Thailand. Cara ini memungkinkan karena negara-negara ini menerima pengungsi Korea Utara.
Berdasarkan sumber dari tahun 2005, "60 sampai 70% pengungsi Korea Utara di Cina adalah wanita, 70 % sampai 80 % dari mereka menjadi korban perdagangan manusia."[5] Sebagian besar wanita ini dijadikan wanita tunasusila oleh pria Korea setempat. Saat diketahui oleh pemerintah Cina, mereka langsung dipulangkan ke Korea Utara dan menerima hukuman berat.
Sebuah studi yang dilakukan Universitas Kyung Hee di Korea Selatan pada tahun 2006 memperkirakan hampir 10.000 orang Korea Utara tinggal di Rusia Timur Jauh, sebagian besar dari mereka melarikan diri dari kamp kerja Korea Utara.[6]
Pada tahun 1962, Pemerintahan Korea Selatan mengeluarkan undang-undang khusus untuk perlindungan terhadap pengungsi dari Korea Utara, yang kemudian direvisi pada tahun 1978 dan masih aktif sampai dengan tahun 1993. Berdasarkan undang-undang tersebut, setiap pengungsi berhak mendapatkan paket bantuan. Setelah kedatangannya di selatan, mereka juga akan diberi bantuan keuangan. Besarnya bantuan tergantung pada kategori si pengungsi termasuk (terdapat 3 kategori). Kategori ini ditentukan oleh taraf kecerdasan dan pandangan politik mereka. Di luar dari bantuan finansial ini, pengungsi yang memberikan informasi-informasi penting atau peralatan tertentu diberikan tambahan hadiah yang cukup besar. Sebelum tahun 1997, hadiah diberikan dalam bentuk emas batangan, bukan dalam bentuk uang – untuk menghindari ketidakpercayaan terhadap uang kertas.
Negara memberikan tempat tinggal secara cuma-cuma berupa apartemen kepada para pengungsi tanpa perlu membayar apapun. Setiap orang yang berniat melanjutkan pendidikan maka akan diberikan hak untuk memilih universitas apa saja yang diinginkan dengan dana pemerintah. Para tentara diizinkan untuk masuk ke dalam militer Korea Selatan dan diberikan pangkat yang sama dengan yang mereka miliki di militer Korea Utara. Mereka juga diberikan perlindungan dengan pengawal khusus.
Baru-baru ini Korea Selatan telah mengesahkan undang-undang baru yang mulai membatasi arus pencari suaka dikarenakan meningkatnya jumlah pengungsi Korea Utara yang menyeberang ke Tiongkok dan dipastikan mereka akan mencari perlindungan ke Korea Selatan. Peraturan mulai diperketat dengan melakukan pemeriksaan dengan deteksi screening dan jumlah uang yang diberikan dipotong dari $28.000 menjadi $10.000. Hal ini untuk mencegah etnis Korea yang tinggal di Tiongkok memasuki Korea Selatan, begitu pula dengan orang Korea Utara yang memiliki catatan kriminal.
Lembaga Hanawon yang didirikan pada tanggal 8 Juli 1999, merupakan pusat yang membantu penempatan kembali para pengungsi Korea Utara yang dibangun pemerintah Korea Selatan. Hanawon berkedudukan di kota Anseong, provinsi Gyeonggi, sekitar satu jam perjalanan ke selatan dari Seoul. Awalnya Hanawon didirikan untuk mengakomodasi sekitar 200 orang untuk program penempatan kembali selama 3 bulan, tetapi pemerintah memperbesarnya pada tahun 2002 dan memotong jangka waktu program menjadi 2 bulan dikarenakan meningkatnya jumlah pengungsi per tahunnya. Pada tahun 2004, Hanawon melewati tahun ke 5-nya dan fasilitas kedua dibuka di ibu kota Seoul. Kini Hanawon menampung dan melatih 400 orang sekaligus.
Di Hanawon, pelatihan difokuskan pada tiga tujuan utama: mempermudah pemahaman sosial ekonomi serta meringankan beban psikologis para pengungsi; mengatasi halangan perbedaan budaya; dan memberikan pelatihan praktik untuk hidup di Korea Selatan. Para pengungsi ini diberi peringatan khusus untuk tidak berpergian keluar dikarenakan alasan keamanan mereka, terutama akan ancaman dari penculikan oleh agen Korea Utara. Seusai mengikuti program Hanawon, para pengungsi dapat memulai hidup baru mereka dengan mendirikan rumah lewat bantuan subsidi dari pemerintah. Pada awalnya mereka menerima uang ₩36 juta per individu untuk mencari atau mendirikan tempat tinggal dan bantuan ₩540.000 per bulan, tetapi sekarang telah dipotong menjadi ₩20 juta dan ₩320.000 per bulan.
Jumlah pengungsi dari tahun 1953 sampai tahun 2005: 14.000
Sebagian statistik:
Sumber: Menteri Unifikasi Korea Selatan
Sampai tahun 2004, Vietnam adalah negara yang menjadi rute pelarian yang diincar pengungsi Korea Utara, salah satunya dikarenakan keadaan geografisnya tidak begitu berat untuk dilewati. Walaupun Vietnam masih merupakan negara komunis dan memelihara hubungan diplomatik dengan Korea Utara, semakin besarnya investasi Korea Selatan di Vietnam telah memaksa Hanoi secara diam-diam untuk memberikan izin untuk mengirimkan para pengungsi ke Korea Selatan. Terdapat 4 buah rumah penampungan pengungsi yang terbesar di Vietnam yang didirikan oleh ekspatriat Korea Selatan, dan banyak pengungsi memilih menuju Vietnam karena mendengar tentang rumah penampungan ini.[8] Pada Juli 2004, 468 orang pengungsi Korea Utara diterbangkan ke Korea Selatan sekaligus dalam pesawat. Pada awalnya Vietanam merahasiakan penerbangan ini dan bahkan seorang pejabat pemerintahan Korea Selatan menyatakan kepada media bahwa para pengungsi ini terbang dari negara Asia yang tak diketahui.[9] Setelah terjadi peristiwa ini, Vietnam memperketat perbatasannya dan mendeportasi para pemilik rumah penampungan.[8]
Thailand juga biasanya menjadi tujuan akhir pengungsi Korea Utara dari Cina sebelum terbang ke Korea Selatan. Pengungsi Korea Utara tidak diberikan status sebagai pengungsi karena dianggap sebagai imigran gelap oleh pemerintah Thailand, dan mereka langsung dideportasi ke Korea Selatan setelah menjalani hukuman penjara. Banyak pengungsi yang akan melaporkan diri mereka ke polisi setelah mereka memasuki perbatasan Thailand.
Terdapat 2 kasus pelarian pengungsi Korea Utara ke Jepang, sekali pada tahun 1987[10] dan sekali pada 2 Juni 2007, saat sekeluarga Korea Utara yang terapung selama 6 hari di laut mendarat di pantai Aomori dan ditemukan oleh polisi dan Pengaman Pantai Jepang.[11] Mereka mengaku ingin pergi ke Korea Selatan,[12] namun setelah diadakan pembicaraan antara Korea Selatan dan Jepang, salah seorang pengungsi ditemukan membawa 1 gram amphetamin. Polisi mengatakan tidak akan menghukum lelaki tersebut namun masih dilakukan investigasi.[13]
Jepang telah menempatkan kembali sebanyak 140 orang Korea Utara yang kembali ke Jepang setelah bermigrasi ke Korea Utara pada program repatriasi massal pada tahun 1959-1984. Program repatriasi yang diprakarsai oleh badan pro Korea Utara, Chongryon dan didukung oleh Palang Merah Jepang dan Korea Utara ini merepatriasi sebanyak 90.000 peserta yang ingin kembali ke Korea Utara (sebagian besar berasal dari Korea Selatan).[14]
Pada tanggal 5 Mei 2006, seorang pengungsi Korea Utara yang tak disebutkan namanya diberikan status pengungsi oleh Amerika Serikat untuk pertama kalinya sejak Presiden George W Bush menetapkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Korea Utara pada bulan Oktober 2004. Kelompok pengungsi ini tiba dari sebuah negara Asia Tenggara, termasuk 4 orang wanita yang mengaku dipaksa menikah. Semenjak penerimaan kelompok pengungsi pertama ini, Amerika Serikat diketahui telah menerima sekitar 50 orang pengungsi lagi.
Sejak bulan Mei 2009, dilaporkan terdapat 81 orang warga Korea Utara yang berstatus pengungsi di Amerika Serikat.[15]
Terdapat sejumlah besar pengungsi Korea Utara di Filipina.[16]
Mongolia adalah rute terpendek dari Tiongkok bagi para pengungsi Korea Utara. Pemerintahan Mongolia yang memelihara hubungan diplomatik dengan kedua Korea juga memberi simpati kepada para pengungsi. Namun rute Mongolia sangat sulit dilalui karena beratnya medan yang berupa Gurun Gobi yang ganas.