Nurul Alam Naqiatuddin Syah | |||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sultanah Dan Yang di-Pertuan Besar Negeri Aceh XX | |||||||||||||||||
Fail:Sultanah Naqiatuddin Syah.jpg Nurul Alam Naqiatuddin Syah | |||||||||||||||||
Sultanah Acèh Darussalam | |||||||||||||||||
Pemerintahan | 23 October 1675 - 23 January 1678 | ||||||||||||||||
Kemahkotaan | - | ||||||||||||||||
Pemasyhuran | - | ||||||||||||||||
Didahului oleh | Taj ul-Alam Safiatuddin | ||||||||||||||||
Diikuti oleh | Inayat Zakiatuddin Syah | ||||||||||||||||
Keputeraan | Sri Para Puteri - Banda Aceh, Kesultanan Aceh Uthmaniyah (kini Indonesia) | ||||||||||||||||
Kemangkatan | 23 Januari 1678 Banda Aceh, Aceh Uthmaniyah (kini Indonesia) | ||||||||||||||||
Pemakaman | 24 January 1678 Aceh Besar, Aceh | ||||||||||||||||
Pasangan | Sultan Muhammad Syah | ||||||||||||||||
Anakanda | - | ||||||||||||||||
| |||||||||||||||||
Kerabat | - | ||||||||||||||||
Kerabat | - | ||||||||||||||||
Wangsa | - | ||||||||||||||||
Ayahanda | Malik Mahmud Qithul Kahar Syah | ||||||||||||||||
Bonda | - | ||||||||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||||||||
Pekerjaan | - | ||||||||||||||||
Tandatangan | ![]() |
Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam adalah Sultanah Aceh yang memerintah dari mangkatnya Sultanah Safiatuddin Syah pada tahun 1675 selama 3 tahun sampai tahun 1678.[1]
Suatu manuskrip simpanan Universiti Kebangsaan Malaysia menyatakan baginda sebagai puteri Sultan Malik Mahmud Qithul Kahar Syah ibni Sultan Sulayman ibni Abdul Jalil ibni Sultan Alauddin al-Kahar.[2]
Hal penting dan fundamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melakukan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam.[1]
Aceh dibentuk menjadi suatu persekutuan disebut Tiga Sagi (lhee sagoe) - "sagi" di sini lebih berupa taraf kawasan pentadbiran diketuai seorang panglima. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam nagari-nagari yang terbagi Tiga Sagi itu. Untuk situasi sekarang, sistem pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah.[1]
Ia menghadapi tantangan yang lebih berat dari sultanah sebelumnya. Ia harus menghadapi ancaman dari kolonial Kristian (Belanda, Inggris dan Portugis), sementara konflik dalaman juga terjadi ketika masyarakat Wujudiyah menyebarkan ajarannya. Selain itu, terdapat pula kelompok yang menentang pemerintahannya. Baginda pernah menyaksikan serangan terhadap pemerintahannya dilakukan melalui musnah diam (sabotase atau sabotaj) serta pembakaran Kutaraja termasuk Masjid Raya Baiturrahman.[3][4]
Didahului oleh: Sultanah Safiatuddin |
Sultanah Aceh 1675—1678 |
Digantikan oleh: Sultanah Zaqiatuddin |