Reverendus Pater Petrus Josephus Zoetmulder | |
---|---|
Gereja | Gereja Katolik Roma |
Imamat | |
Tahbisan imam | 15 Agustus 1938 |
Informasi pribadi | |
Nama lahir | Petrus Josephus Zoetmulder |
Lahir | Utrecht (Utrecht), Belanda | 29 Januari 1906
Meninggal | 8 Juli 1995 Yogyakarta, Indonesia | (umur 89)
Kewarganegaraan | Indonesia |
Denominasi | Katolik Roma |
Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (29 Januari 1906 – 8 Juli 1995) adalah seorang pakar Sastra Jawa dan budayawan Indonesia. Ia terkenal dengan disertasinya mengenai penelitian tentang sebuah aspek agama Kejawen yang dalam edisi Indonesianya berjudul Manunggaling Kawula Gusti. Selain itu nama Zoetmulder tidak dapat dilepaskan dari telaah sastra Jawa Kuno Kalangwan dan kamus Jawa Kunanya yang terbit dalam dua edisi, yaitu edisi Bahasa Inggris (1982) dan edisi Bahasa Indonesia (1995).
Lahir di Utrecht, Negeri Belanda, Piet kecil sudah belajar membaca dan menulis sejak sebelum mengenal bangku sekolah. Ibunya, Catharina Noelege, seorang pemain piano profesional, adalah gurunya yang penyabar. Sehingga ketika Piet masuk Sekolah Dasar, tanpa melalui TK lebih dulu, ia praktis sudah pandai membaca dan menulis. Piet memang dikenal sebagai murid yang rajin, berbakat, dan cerdas.
Saat duduk di bangku Gymnasium (semacam SMU) College Kanisius, putra seorang insinyur itu mulai tertarik untuk menjadi pastur dan terutama Imam Yesuit. Hal ini tak aneh, karena keluarganya tercatat sebagai penganut agama Katolik yang taat. Dua pamannya adalah pastor, sedang bude dan bibinya menjadi suster di Afrika dan Suriname. Ketika ayahnya, yang bekerja sebagai inspektur kesehatan umum, pindah ke Heerlen, Piet sempat kecewa karena di situ tidak ada gymnasium. Untung, orangtuanya membolehkan si anak bungsu masuk gymnasium di kota Rolduc, yang kebetulan bekas sekolah ayahnya. Ia mengikuti ujian jurusan A dan B, dan keduanya ia lalui dengan berhasil. Pada 1925, Piet masuk Novisiat Serikat Yesus, pendidikan awal calon Imam Yesuit.
Pastur J. Willekens S.J., yang mengasuhnya di novisat menganjurkan Piet bekerja untuk karya misi di Jawa, setelah pendidikannya rampung. Anjuran itu dipatuhinya, dan Piet masih berusia 19 tahun ketika menuju ke Hindia Belanda. Ia segera ditempatkan di Seminari Menengah di Yogyakarta. Tidak diduga, tiga tahun kemudian Pastur Willekens sendiri menyusul ke Jawa untuk menjadi Visitor Apostolis.
Setelah bertemu dengannya, Willekens berkata, "Di samping filsafat, kamu juga harus belajar bahasa Jawa Kuno." Dia lalu dihubungkan dengan Prof. C.C. Berg, yang mengajar di Surakarta, yang bisa membantunya studi Jawa Kuno. Pada tahun 1931, Zoet lulus dengan predikat cum laude, dan bersamaan dengan itu ditahbiskan sebagai calon pastor di Girisonta, Ungaran, Kabupaten Semarang.
Pendalaman lebih jauh ia lakukan di Universitas Leiden, Negeri Belanda. Di sini dia meraih gelar sarjana muda dalam setahun, lazimnya tiga tahun, dan sarjana penuh, dalam bidang Sejarah Jawa dan Purbakala, juga dalam satu tahun. Pada bulan Oktober 1935, dengan bimbingan Prof. C.C. Berg, Zoetmulder mempertahankan disertasi doktoratnya, Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek Literatuur, dengan predikat cum laude. Romo Zoet, demikian ia akrab dipanggil, merasa harus merampungkan studi teologinya dulu sebelum kembali ke Jawa. Empat tahun dia belajar di Maastricht. Menjelang pulang ke Hindia Belanda, dia masih harus menjalani masa tertiat (masa pendidikan dan pendalaman rohani selama setahun), di Belgia. Tetapi, serbuan pasukan Nazi Jerman ke negeri itu memaksa Romo mengungsi ke Prancis, Juni 1940.
Ia kemudian berhasil mendapatkan kapal yang menuju ke Hindia Belanda, tetapi mendarat di Inggris demi menghindari ranjau yang dipasang Jerman di lintas pelayaran. Bulan berikutnya Romo Zoet baru berhasil tiba di Jawa, lewat Hong Kong. Padahal, ada rekannya yang tewas bersama kapal yang tenggelam ditorpedo Angkatan Laut Jerman. "Tuhan menghendaki saya berbahagia di Tanah Jawa", ujarnya.
Tiba di Jakarta, Romo ditawari mengajar ilmu perbandingan bahasa di Fakultas Sastra UI. Tetapi, dorongan untuk lebih mendalami bahasa Jawa membuatnya memilih menetap di Yogyakarta. Ia lalu mengajar di AMS, dan muridnya antara lain Prof. Dr. Koentjaraningrat, Dr. Sukmono dan Dr. S. Supomo.
Saat Jepang masuk Indonesia pada tahun 1942, Zoetmulder termasuk warga Belanda yang ditahan. Dia beruntung, karena selama ditahan buku dan pena masih boleh ia bawa. Namun saat dipindahkan ke penjara Cimahi, ia berhasil menyelundupkan buku Adiparwa suntingan Dr. H.H. Juynboll dan sebuah kamus bahasa Jawa karangan Gericke-Roorda. Zoetmulder berusaha meneliti tatabahasa Jawa Kuno dari buku ini. Kelak buku tatabahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam bahasa Belanda (De Taal van het Adiparwa) pada tahun 1950 dan edisi bahasa Indonesianya (Bahasa Parwa) diterbitkan pada tahun 1954 dengan bantuan I.R. Poedjawijatna. Buku ini kelak menjadi acuan dasar mahasiswa studi Jawa Kuno.
Pada zaman Revolusi Fisik (Perang atau Revolusi Kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945-1950), sebagai seorang Belanda, Romo Zoet nyaris dibunuh oleh seorang laskar di Pastoran Kemetiran, Yogyakarta. Namun untung ada seorang Jawa yang membelanya dan berkata bahwa dia adalah "orang suci".
Setelah lolos dari tahanan interniran Baros pada tahun 1945, dia mulai mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM). Lima tahun kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud, ia diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Sastra Pedagogik, Filsafat UGM. Pada tahun 1955, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Sastra UGM. Saat itu dia telah menanggalkan kewarganegaraan Belandanya. Sehari-hari tugasnya menjadi lebih berat karena harus mewakili Dekan Fakultas Sastra Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka, yang lebih banyak berada di Jakarta. Ini masih ditambah tugas lain, menjadi guru bahasa Jawa Kuno untuk wilayah Yogya.
Pertama memberi kuliah, Zoetmulder memakai bahasa Jawa. Tapi kemudian dia menyadari, mahasiswanya banyak yang berada dari luar Jawa. Ia pun kemudian menulis buku panduan berjudul Sekar Sumawur: Bunga rampai bahasa Djawa Kuno. Kemudian untuk membantu kesulitan itu, Zoet bermaksud membuat kamus bahasa Jawa Kuno. Kamus ini mulai dikerjakannya sejak tahun 1950. Semula ia yakin, sepuluh tahun adalah waktu yang ia butuhkan, tetapi kenyataan berbicara lain.
Bukunya yang mengupas kehidupan empu dan sastra Jawa Kuno Kalangwan akhirnya terbit pada tahun 1974, disusul dengan Old Javanese-English Dictionary pada tahun 1982. Dalam menulis buku-bukunya, Zoetmulder mengaku kesulitan karena harus mengumpulkan naskah dari mikrofilm dari Universitas Leiden.
Prof. Zoetmulder meninggal dunia pada tanggal 8 Juli 1995 di pastoran Kemetiran, Yogyakarta. Jenazah dia lalu dimakamkan di pemakaman di gereja di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Rohaniawan pecandu buku, dan suka bermain biola, ini sudah merasa dirinya orang Indonesia, malah Jawa. Tuhan yang menaruh saya di Indonesia. Papanku (tempat tinggalku) sudah ditentukan di sini, ujar dosen UGM itu. Pada 13 Maret 1951, Romo Zoet sah menjadi warga negara Indonesia. Ia merasa sesuai tinggal di Pastoran Kemetiran, Yogyakarta, yang konon sangat cocok dengan perasaan kejawaannya. Di situ ia menetap sembilan tahun.
Romo Zoet penggemar musik Beethoven dan Mozart. Di samping buku rohani dan ilmu, ia juga pelahap novel dan puisi, malah cerita detektif. Konon, Zoetmulder memiliki 1.000 cerita detektif di kamarnya, termasuk karangan Ngaio Marsh. Bersahabat dengan pengarang detektif John Le Carré ketika di Bonn, Jerman Barat, ia pernah mendapat hadiah langsung dari Le Carré, sebuah buku laris berjudul The Spy Who Came in from the Cold. Karangan Le Carré yang lain, A Small Town in Germany, sempat 'diperiksa' Romo Zoet lebih dahulu sebelum terbit.