Kesultanan Gowa | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1320–1905 1936–1957 | |||||||||||
Bendera | |||||||||||
Wilayah kekuasaan Federasi Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17 | |||||||||||
Ibu negara | Somba Opu - Maccini Sombala - Jongaya - Sungguminasa | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Makassar (resmi | ||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||
Kerajaan | Monarki | ||||||||||
Sultan | |||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Didirikan | 1320 | ||||||||||
• Sultan Hasanuddin naik takhta | 1653 | ||||||||||
• Perjanjian Bungaya antara Gowa dan VOC | 1667 | ||||||||||
• Kesultanan Gowa ditaklukkan sepenuhnya oleh Belanda | 1905 | ||||||||||
• Kesultanan Gowa kembali dihidupkan dan dinaikkan statusnya menjadi setingkat swapraja | 1936 | ||||||||||
• Wilayahnya dijadikan Kabupaten Gowa | 1957 | ||||||||||
|
Sebahagian daripada siri tentang |
---|
Sejarah Indonesia |
Portal Indonesia |
Kesultanan Gowa (atau juga dieja Goa, bahasa Makassar: ᨅᨈᨙᨔᨒᨄ Baté Salapang) atau Kerajaan Mengkasar (Jawi: كراجاءن مڠكاسر ) merupakan sebuah kerajaan dan kesultanan yang berpusat di daerah daerah selatan pulau Sulawesi, tepatnya di jazirah selatan dan pesisir barat semenanjung yang banyaknya didiami orang-orang Makassar. Kawasan Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bahagian daerah sekitarnya.
Kerajaan ini didirikan daripada penggabungan beberapa wilayah pembesar atau banua pada awal abad ke-14, ia mencapai puncak kejayaannya bersama Kerajaan Tallo pada abad ke-17, ketika kerajaan ini memegang hegemoni ketenteraan dan perdagangan atas wilayah timur Nusantara, termasuk di antaranya sebahagian besar Sulawesi, beberapa bahagian dari Maluku dan Nusa Tenggara serta pesisir timur Kalimantan. Kerajaan ini turut mengembangkan berbagai inovasi dalam bidang pemerintahan, ekonomi dan ketenteraan. Perubahan sosial budaya yang drastik mendadak juga terjadi seiring mengeratnya hubungan antara Kerajaan Gowa dan dunia luar pada ketika ini terutama setelah Kerajaan Gowa menjadikan Islam sebagai agama resmi pada awal 1600.
Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar yang terjadi pada akhir 1660-an mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil wilayahnya diberikan kepada VOC. Meski begitu, Kerajaan Gowa tetap bertahan sebagai negeri merdeka hingga awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda mengalahkan Gowa dalam Ekspedisi Sulawesi Selatan dan menjadikannya daerah jajahan.
Naskah Lontara Patturioloang Gowa menyebutkan bahawa keturunan penguasa Kerajaan/Kesultanan Gowa berawal dari perkahwinan antara seorang Tumanurung (semacam ras makhluk langit legendaris???) yang secara harafiah dapat diartikan "orang yang turun" (kerana tidak diketahui asal muasalnya secara pasti) dengan seorang bangsawan yang hanya dikenali dengan gelar "Karaeng Bayo",[1][2] ditafsirkan oleh arkeolog Francis David Bulbeck sebagai perkawinan antara wanita bangsawan setempat dan penguasa Bajau;[3][4] para bangsawan Bate Salapanga di Gowa pun bersepakat membentuk negeri dan mengangkat mereka berdua suami-isteri sebagai penguasa.[5] Bukti genealogi dan arkeologi mengisyaratkan bahawa pembentukan negeri Gowa terjadi pada sekitar tahun 1300 Masihi.[6][7] Tahun 1320-an pula menyaksikan kedatangan Islam dibawa Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husainiyang kemudiannya merupakan datuk salah satu tokoh Wali Songo di Jawa.[8]
Para ahli mengaitkan kemunculan Kerajaan Gowa dan negeri-negeri di Sulawesi Selatan lainnya dengan menggiatnya cucuk tanam dan pertanian serta pemusatan pemerintahan besar-besaran pada abad ke-14, yang didorong kenaikan permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan.[9][10][11] Kepadatan penduduk turut meningkat seiring dengan pergantian dari budaya meladang kepada penanaman padi sawah secara intensif. Hutan-hutan di pedalaman semenanjung turut ditebang buka untuk memberi tempat bagi pemukiman-pemukiman agraria baru,[12] termasuk Gowa yang awalnya juga merupakan "kepembesaran" (chiefdom) atau "banua" pedalaman yang berbasiskan budi daya padi.[7]
Dalam perang takhta antara dua putera raja Sombaya ri Gowa pada akhir abad ke-15, Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna mengalahkan saudaranya Karaeng Loe ri Sero'. Karaeng Loe ri Sero' kemudian menuju ke muara Sungai Tallo dan mendirikan negeri baru yang dikemudian hari dinamakan Tallo,[13][14] yang kemudian berkembang menjadi kerajaan dagang maritim.[15][16]
Hingga abad ke-16, bahagian barat Sulawesi Selatan terdiri dari negeri-negeri sama kuat yang saling bersekutu dan bersaing satu sama lain, tanpa ada satupun yang mampu menguasai keseluruhannya.[17] Putra Batara Gowa, Karaeng Tumapaʼrisiʼ Kallonna (berkuasa sekitar 1511–1546), memecahkan keadaan status quo ini dengan menaklukkan pesisir Garassi' serta menyerang setidaknya tiga belas negeri bersuku Makassar lainnya.[18][19][20] Pada akhir 1530-an atau awal 1540-an, Kerajaan Gowa memenangkan perang melawan Kerajaan Tallo dan sekutu-sekutunya.[21][22] Kerajaan Gowa pun menjadi negeri paling dominan di tanah suku Makassar dan diakui sebagai saudara tua oleh Kerajaan Tallo.[23][24] Sombaya Tumapaʼrisiʼ Kallonna mengembangkan birokrasi kerajaan dengan menunjuk Daeng Pamatteʼ sebagai sabannaraʼ (syahbandar) pertama.[25] Penyusunan catatan sejarah serta hukum tertulis kerajaan juga dimulai pada masa pemerintahannya.[26][18] Ia juga kemungkinan merupakan penguasa Kerajaan Gowa yang pertama kali membangun benteng Somba Opu.[27][28]
Penguasa Kerajaan Gowa berikutnya, Karaeng Tunipalangga (memerintah sekitar 1546–1565) memperluas pengaruh Kerajaan Gowa melalui serangkaian penngiatan ketenteraan. Ia juga melakukan inovasi dalam bidang teknologi persenjataan dan pertahanan.[29][30][28] Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa mengalahkan seluruh pesaingnya di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah Sulawesi Tengah.[31][32] Sombaya Tunipalangga juga menerima orang-orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk bermukim dan sekaligus berniaga di negerinya.[33] Ia bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu pemimpin mereka dan memperbolehkan mereka untuk tinggal secara permanen di dalam wilayah Kerajaan Gowa tanpa harus mengikuti hukum adat setempat.[34][35][36] Para pedagang ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi yang berkontribusi pada kemajuan pesat Kerajaan Gowa sebagai bandar persinggahan utama di Nusantara bahagian timur kala itu.[37] Sombaya Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Keraiaan Gowa lebih lanjut dengan menciptakan jabatan Tumilalang atau Tumailalang "orang di dalam" serupa menteri dalam negeri[38]) untuk mengambil alih tugas-tugas bukan dagang sabannaraʼ,[39][40] serta mengangkat Tumakkajannangngang atau kepala pengrajin yang bertugas mengawasi pekerjaan. (Dari versi lain, jabatan "Tumakkajannangngang" atau lengkapnya "Anrongguru Lompona Tukkajannangnganga" adalah jabatan Panglima Angkatan perang Kerajaan/Kesultanan Gowa yang di masa pemerintahan Raja (Sultan) atau Sombaya ri Gowa ke 15, jabatan tersebut diduduki oleh putra Beliau yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana yang dijuluki oleh admiral VOC Cornelius Spellman dengan julukan De Haantjes van Het Osten atau Ayam Jantan dari Timur, dalam bahasa Makassarnya; Jangang Pallakina Butta Irayayya, dan juga pada masa akhir Kesultanan Gowa para masa pemerintahan Sombaya ri Gowa XXXVI Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tuminanga ri Jongaya yang dijabat oleh salah satu kerabatnya yang bernama Andi Laoddanriu Karaeng Bontonompo) serikat-serikat pengrajin di Makassar.[41][42]
Perluasan pengaruh Kerajaan Gowa di pesisir barat mencetuskan tindak balas agresif dari Kerajaan Bone di sebelah timur. Perang meletus pada awal 1560-an, dan baru berakhir pada 1565 dengan kekalahan Gowa. Karaeng Tunibatta, saudara dan penerus Sombaya Tunipalangga, mati dipenggal (Nibatta) oleh musuh.[43][44][45] Selepas kematian Tunibatta, penguasa Kerajaan Tallo I Mappatakangkang Tana Daeng Padulung Tuminanga ri Makkoayang naik sebagai Tuma'bicara butta atau juru bicara negeri pertama Gowa dan mengangkat Karaeng Tunijalloʼ, putra Karaeng Tunibatta, sebagai penguasa Gowa.[46][47] Sejak saat itu, penguasa Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo berbagi kedudukan dalam memimpin keseluruhan negeri Gowa dan negeri Tallo secara bersama-sama.[48][49] Karaeng Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan menandatangani Perjanjian Caleppa atau "Ulu Kanaya ri Caleppa" antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone,[44][45] yang mempertahankan kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam belas tahun berikutnya.[50] Selama itu pula, Sombaya Tunijalloʼ dan Karaeng Tuminanga ri Makkoayang melanjutkan kebijakan-kebijakan pro-perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan dengan negeri-negeri lain di Nusantara.[51][52][53]
Bahagian ini memerlukan pengembangan. Anda boleh menolong dengan membaiki seksyen itu. |
Pada tahun 1666, Syarikat Hindia Timur Belanda (Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC) di bawah pimpinan Cornelis Speelman berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di sisi lain pula, Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bahagian timur untuk melawan VOC.
Pertempuran terus berlangsung, di mana "Kompeni" menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, kerana itu Sultan Hasanuddin mengisytihar perang lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan ketenteraan dari Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat di mana pasukan Sultan Hasanuddin sengit melawan, namun bantuan Batavua mampu menambah kekuatan pasukan VOC sehingga akhirnya berhasil menerobos benteng terkuat kerajaan itu, Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Jun 1669. Sultan Hasanuddin kemudian turun takhta kerajaan selepas kalah dan kerajaan baginda diserahkan sebagai suatu kawasan pentadbiran Belanda,[54] baginda mangkat genap setahun kemudian pada 1670.
Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda.
Pada 1945, Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin menyatakan sokongan terhadap penyertaan Kesultanan Gowa menjadi sebahagian daripada Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.
Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan Ata[55].
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan dan terkenal hingga mancanegara.
Bahagian ini memerlukan pengembangan. Anda boleh menolong dengan membaiki seksyen itu. |
|dead-url=
ignored (bantuan)