Ilmu keolahragaan (disingkat IKOR) adalah pengetahuan sistematis dan terstruktur tentang fenomena olahraga yang dibangun melalui proses penelitian ilmiah. Sebagai disiplin ilmu tersendiri, cakupan penelitian ilmu keolahragaan dapat didasarkan pada studi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Studi ontologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa keunikan dan kebaruannya dari disiplin lain, sedangkan studi aksiologis dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang nilai-nilai apa yang sebenarnya diberikan untuk kemaslahatan manusia.
Pada hakikatnya, ilmu keolahragaan berakar pada pengetahuan multidimensi tentang hidup dan kehidupan manusia. Sedikitnya terdapat tiga dimensi dalam hidup dan kehidupan manusia, yakni dimensi lahir (tumbuh, berkembang, dan mati), dimensi fisik, mental dan emosional, dimensi biologis (pribadi, dan perilaku), dimensi individu dan sosial, dimensi ruang dan waktu, dimensi alam, humanistik, dan budaya. Ilmu keolahragaan mempelajari fenomena keolahragaan yang dilakukan dan nomenanya adalah manusia, sehingga ilmu keolahragaan memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sesuai dengan kompleksitas keberadaan manusia itu sendiri. Ilmu keolahragaan berkembang dari ilmu-ilmu terdahulu yang mengkaji tentang aktivitas manusia dengan berfokus pada manusia yang berolahraga, olahraga yang dilakukan dan faktor-faktor yang ada di dalamnya.
Kajian keolahragaan merupakan kajian ilmu yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan dan dinamika kegiatan keolahragaan dalam skala nasional, regional maupun internasional. Implementasi ilmu keolahragaan dalam ranah empiris terlihat dalam partisipasi ilmuwan yang menguasai secara teknis, metodologis, praktis dan teoretis untuk mendesain pengembangan keolahragaan. Di dalam ranah praktis, ilmuwan mulai menelusuri perkembangan teknis keolahragaan, manajemen penyelenggaraan keolahragaan dan sistem pelatihan keolahragaan. Ilmu keolahragaan adalah ilmu yang relatif baru dan memiliki sejarah lebih pendek daripada bidang-bidang ilmu lain seperti filsafat, hukum, fisika, dan biologi. Oleh karena itu, pendasaran teoritis-praktis masih terus diupayakan, sehingga kerangka berpikir ilmu keolahragaan memperkuat eksistensinya.
Kerangka historis ilmu keolahragaan tidak dapat dilepaskan dari yang terjadi di dunia Timur maupun Barat. Pada zaman Mesir Kuno, di kota Sparta dan Athena sudah dikenal aktivitas jasmani yang sistematis dan terstruktur dalam rangka membentuk tubuh yang bagus, kuat, tahan, lincah, dan tangguh.[1] Aktivitas itu disebut gimnastik. Gimnastik berarti atletis atau bentuk latihan yang dilakukan di gimnasium. Istilah ini kemudian digunakan oleh beberapa negara seperti Jerman, Swedia, Denmark, dan Amerika untuk pengertian yang lebih spesifik, yaitu suatu latihan formal, kalistenik, dan aktivitas yang menggunakan alat-alat.[1]
Pada abad ke-18 muncul istilah kultur fisik (physical culture) yang digunakan untuk menamai kajian tentang ilmu dan seni latihan tubuh, atau pemeliharaan dan pengembangan fisik yang sistematis dan terstruktur.[2] Kajian ini berawal dari terbitnya sebuah buku di Boston tahun 1904 karya Charles Wesley Emerson berjudul Physical Culture. Pada abad ke-19 muncul istilah latihan fisik (physical training) yang digunakan di Amerika untuk latihan militer. Latihan militer adalah penamaan untuk program latihan dan aktivitas fisik yang dirancangkan guna meningkatkan perkembangan dan kondisi fisik, serta keterampilan gerak. Selanjutnya masih pada abad ke-19 muncul istilah pendidikan fisik (physical education) yang digunakan di perguruan tinggi di Amerika Serikat.[3] Istilah ini kemudian semakin populer dan digunakan sampai saat ini selain istilah-istilah lain yang muncul.
Dalam perkembangannya, muncul pemikiran bahwa istilah pendidikan fisik sebagai nama suatu disiplin akademik tidak logis dan perlu dicari nama lain yang lebih tepat. Ilmu keolahragaan kemudian mulai terfokus ke dalam ranah kajian-kajian etimologis. Hal ini diungkapkan oleh Rosalind Cassidy dan Thomas D. Wood pada tahun 1927 dalam buku mereka yang berjudul The New Physical Education, dan diungkapkan kembali pada tahun 1938 dalam buku mereka yang berjudul New Directions in Physical Education.[4] Selanjutnya, di tahun 1935 S. C. Staley menulis sebuah buku berjudul The Curriculum in Sport, dan pada tahun 1939 ia menulis buku lagi berjudul Sport Education. Kedua publikasi tersebut menandai adanya satu istilah baru dalam penamaan terhadap kajian keilmuan yang berkaitan dengan aktivitas fisik manusia ini. Alhasil, kedua hasil kajian tersebut mempopulerkan istilah olahraga (sport). Akhirnya, di tahun 1971 dalam Konvensi Detroit dibuat pernyataan agar istilah-istilah yang ada disepakati untuk dibawa ke dalam kurikulum sekolah sehingga istilah pendidikan fisik harus diganti.[5] Pernyataan tersebut mendapat sambutan positif secara luas karena memang dirasakan bahwa nama pendidikan fisik tidak sesuai lagi dengan luasnya spektrum penelitian dan studi serta keragaman layanan profesional yang dapat berkembang kemudiannya. Konvensi merekomendasikan American Academy of Physical Education untuk mengkaji dan mencari nama baru untuk subjek dari keilmuan ini.[1]
Pada tahun 1973 American Academy of Physical Education memulai kajian mendalam untuk mencari istilah baru, dan memunculkan beberapa alternatif yaitu, Kinesiologi, Kinetiks, Pendidikan Fisik dan Olahraga, Pendidikan Fisik dan Tari, dan Seni Pergerakan dan Ilmu Pengetahuan. Dari 5 alternatif istilah tersebut, nama Seni Pergerakan dan Ilmu Pengetahuan dinilai paling tepat untuk dipilih dan digunakan. Selanjutnya, muncul pemikiran lain yang populer, yakni dari dua orang Profesor. Pertama, bernama Herbert Haag asal Jerman yang mengembangkan konsep ilmu keolahragaan (sport sciences), dan kedua bernama K. Rijsdorp asal Belanda yang mengembangkan konsep gimnologi (gymnologie).[2] Tidak berhenti di situ, seorang peneliti bernama Claude Bouchard asal Kanada mengembangkan konsep ilmu aktivitas fisik (physical sctivity sciences).
Kajian atas etimologi yang berkembang ke ranah konseptual yang dihasilkan para ahli tersebut menunjukkan adanya keberagaman struktur dan sistematika yang terkandung di dalam ilmu keolahragaan baik secara historis dan secara empiris. Namun karena pada hakekatnya objek kajiannya adalah sama, maka kesemuanya dapat ditarik benang merah dengan alur yang sejalan, tidak saling bertentangan, dan justru dapat saling melengkapi sehingga diakuilah istilah ilmu keolahragaan (sport sciences).
Di Indonesia catatan historis ilmu keolahragaan diperkiraan telah dimulai dari munculnya lembaga-lembaga yang menaungi dan mengajarkan bidang olahraga atau pendidikan jasmani di Indonesia. Misalnya, pada tahun 1941 di Surabaya didirikan Academisch Institut voor Lichamelijke Opvoeding (AILO) atau dalam bahasa Indonesia disingkat LAPD (Lembaga Akademi Pendidikan Jasmani) sebagai reaksi atas kelangkaan guru-guru pendidikan jasmani dari Belanda ke Indonesia untuk mengajarkan studi ini.[4] Sekitar tahun 1950-an, lembaga ini berubah nama menjadi Akademi Pendidikan Jasmani (APD). Akademi ini pada tahun 1953 didirikan di Universitas Indonesia dan juga kemudian didirikan juga di Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 1960-an, nama akademi disetarakan menjadi fakultas sehingga diubahlah menjadi Fakultas Pendidikan Jasmani. Khususnya, di tahun 1963 berbagai ragam pendidikan untuk guru pendidikan jasmani ini mengalami penyetaraan dan kesetaraan program dan gelar sehingga terbentuklah Sekolah Tinggi Olahraga (STO) yang kemudian dilebur ke IKIP (pengembangan dari FKIP) dan menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan (FKIK). FKIK kemudian berubah lagi menjadi Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.
Kerangka historis ilmu keolahragaan di Indonesia lebih condong kepada pemikiran yang diutarakan Herbert Haag tentang ilmu keolahragaan (sport sciences), karena partisipasi dalam lokakarya internasional tahun 1975. Dalam historiografi, hasil lokakarya berdampak kuat pada pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Olahraga. Beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan (misalnya, biomekanika olahraga, filsafat olahraga, fisiologi olahraga) dalam nuansa sendiri-sendiri (multidiscipline) mulai dikembangkan yang didukung oleh ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan (misalnya, psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan ilmu sosial lainnya (misalnya, sosiologi dan antroplogi) yang dipandang perlu dikuasai oleh para calon profesional di bidang ini.[1]
Sementara itu, kajian mengenai fenomena keolahragaan di Indonesia cenderung mengikuti perkembangan yang terjadi secara internasional. Hasil kajian yang dipublikasi oleh para ahli dari negara-negara maju dan penemu istilah ini diadopsi dan digunakan sebagai referensi pengembangan kajian. Utamanya, dalam hal terminologi ilmu keolahragaan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Awalnya, digunakan istilah Gerak Badan, kemudian berturut-turut berubah menjadi Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga, Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Selanjutnya, istilah yang digunakan untuk menamai disiplin akademik atau disiplin ilmunya adalah ilmu keolahragaan (IKOR).[4] Seminar dan Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan di Surabaya tahun 1998 menjadi penanda disepakati dan disetarakannya istilah ilmu keolahragaan. Dalam forum yang dihadiri oleh para ilmuwan keolahragaan dan juga para ilmuwan disiplin ilmu lain yang relevan, telah ditetapkan deklarasi yang mengukuhkan eksistensi ilmu keolahragaan. Forum itu menentapkan dibentuknya Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan beserta fungsi dan tugasnya. Komisi ini menghasilkan sebuah dokumen dalam bentuk buku yang berjudul Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya yang menjadi langkah awal dimulainya kajian ilmu keolahragaan yang multidimensi ini.
Istilah ilmu diambil dari bahasa Arab yaitu; “alima, ya’lamu, ‘ilman” yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan memberikan pengetahuan. Ilmu dihasilkan melalui proses ilmiah yang berangkat dari proses berpikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris). Jadi landasan berpikir inilah yang disebut dengan hakikat. Adapun pengertian keolahragaan itu sendiri ialah hal-hal yang berkaitan dengan olahraga. Olahraga adalah aktivitas fisik manusia yang terstruktur dan sistematis untuk tujuan kebugaran jasmaninya. Dari pengertian ini, terlihat hakikat dari ilmu keolahragaan.[6]
Pada hakikatnya, ilmu keolahragaan berakar pada pengetahuan yang mencakup hidup dan kehidupan manusia yang sifatnya multi dimensi.[7] Cakupan multi dimensinya, antara lain: dimensi kelahiran, dimensi tumbuh-kembang dan kematian, dimensi jasmani, mental dan emosional, dimensi biologis, pribadi, dan tingkah laku, dimensi individual dan sosial, dimensi ruang dan waktu, dimensi alamiah, kemanusiaan, dan kultural. Ilmu keolahragaan mengkaji dimensi-dimensi tersebut, dan yang menjadi subjek adalah manusia sehingga dapat dikatakan bahwa bidang ilmu ini memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sejalan dengan kompleksnya keberadaan manusia itu sendiri. Dengan demikian, hubungan antara ilmu keolahragaan dan ilmu-ilmu terdahulu yang mengkaji tentang manusia dan dimensinya begitu erat, namun perbedaannya terletak dari fokus kajiannya. Ilmu keolahragaan berfokus pada manusia yang melakukan aktivitas olahraga, olahraga yang dilakukan, dan segala seluk-beluk yang terdapat di dalamnya.[7]
Ilmu keolahragaan mendasari refleksi kehidupan suatu masyarakat dalam sebuah bangsa. Oleh karena itu, olahraga sebagai sebuah subjek dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan hal-hal yang sifatnya primordial. Di dalam ilmu keolahragaan tergambar aspirasi dan nilai-nilai luhur suatu masyarakat yang terpancar melalui hasrat mewujudkan diri untuk memperoleh keahlian di bidangnya. Hal inilah yang membuka ruang profesionalisme dalam ilmu keolahragaan bahwa kajiannya dapat mencetak insan manusia unggul, baik secara jasmani, mental, intelektual, sosial, serta mampu berfokus pada bidangnya.[3] Dengan demikian, secara fungsional, ilmu keolahragaan mempengaruhi aspek perkembangan intelektual, emosional dan sosial dalam kehidupan.
Ilmu keolahragaan juga mendasari refleksi kesehatan jasmani dalam diri seseorang. Refleksi yang muncul ialah bahwa dengan berolahraga atau melakukan aktivitas fisik yang sistematis, seseorang dapat mengurangi risiko-risiko penyakit kronis, stres dan depresi, meningkatkan emosional, energi, kepercayaan diri dan kepuasan secara sosial.[4] Jadi, ada aspek partisipatif di dalam olahraga. Tidak hanya aspek jasmani tetapi juga sosial. Olahraga menyatukan individu dan komunitas, menyoroti kesamaan dan menjembatani perbedaan budaya atau etnis. Ilmu keolahragaan tidak hanya diolah secara teoretis tetapi juga praktis. Bahkan, menjadi sarana meningkatkan kedisiplinan, kepercayaan diri, kepemimpinan, dan mengajarkan prinsip-prinsip inti seperti toleransi, kerja sama, dan sikap tenggang rasa. Dalam pada itu, hakikat olahraga menjadi diperluas ke arah relasionalitas antar manusia.
Dari perspektif positivistik, ilmu keolahragaan menumbuhkan kepekaan sosial manusia dengan sesamanya. Benar bahwa sasaran dari pada olahraga adalah hal-hal yang bersifat jasmani. Akan tetapi, aspek positif dari olahraga membuat unsur-unsur permainan, perjuangan, ketekunan diri selalu terhubung dengan interaksi terhadap lingkungannya serta manusianya sesuai dampak yang dihasilkan dari proses yang berlangsung di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa secara teori, olahraga membentuk sikap seseorang dan pemaknaannya terhadap sesama. Dengan cara itu, karakteristik dari olahraga sebagai sebuah ilmu pun tidak tertutup pada perubahan dan semakin kompleks karena motif yang ingin dicapai tidak hanya kekuatan jasmani tetapi juga lingkungan sosial budaya tempat pelaksanaannya.[8]
Secara sosiologis, ilmu keolahragaan dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karena itu masyarakatlah dapat membentuk olahraga macam apa yang menjadi bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya dari waktu ke waktu pengertian olahraga berubah sesuai dengan pemaknaan sekelompok masyarakat.[9] Misalnya, dalam rentang sejarah tahun 1960-an olahraga cenderung dimaknai sebagai perjuangan yang sifatnya pribadi. Lalu, sekitar tahun 1972 dimaknai bahwa olahraga adalah perjuangan yang sifatnya inklusif. Sifat dari olahraga menjadi spontan, bebas, dan tidak terbatas waktu. Dengan perhatian terhadap aspek sosial, maka olahraga bukanlah semata-mata kompetisi yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang optimal, bukan juga hanya kegiatan jasmani pada waktu senggang untuk membangun kebugaran jasmani, melainkan suatu kajian yang berkorelasi dengan pemaknaan kemasyarakatan atau lingkungan sosial.
Sekalipun begitu, ilmu keolahragaan tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa dasarnya adalah kegiatan jasmani, baik formal maupun non formal. Hal inilah yang membentuk persepsi bahwa kajian keolahragaan sangat kompleks sehingga pemahaman fundamental yang menyatakan bahwa olahraga adalah sebuah proses pembinaan kebugaran jasmani tidak dapat dipertahankan. Olahraga juga memiliki aspek intelektual, hiburan, dan kompetisi sehingga digolongkan ke dalam tiga ciri, yakni olahraga pendidikan (yang menekankan aspek kependidikan), olahraga rekreasi (yang menekankan sifatnya yang rekreatif), olahraga kompetitif (yang menekankan prestasi). Oleh karena itu, kegiatan jasmani yang kompleks ini sangat mungkin ditentukan perkembangannya sesuai dengan motif kelompok masyarakat tertentu sebagai pelakunya.[2]
Itulah sebabnya, jika ditelisik ke bagian dalam ilmu keolahragaan, terdapat wajahnya yang bersifat formal dan non formal. Sisi formal terlihat ketika olahraga ini menjadi kajian berpikir sedangkan sisi informal terlihat ketika olahraga menjadi aktivitas permainan. Dalam konteks ini, kriteria penilaian tertuju pada adanya faktor kebebasan dan kesadaran untuk melakukannya baik formal maupun non formal. Dengan kata lain, proses keilmuan dan kepraktisan olahraga didasarkan pada kesadaran manusia untuk melakukannya. Dalam kaitannya dengan proses tersebut, maka hakikat lainnya dari keolahragaan ialah perilaku yang mengeksplorasi kedalaman berpikir dan bertindak manusia. Wajahnya yang bersifat formal dan non formal menunjukkan bahwa secara keilmuan, olahraga merupakan sesuatu yang utuh. Tidak dapat dipisahkan karena hubungannya yang erat itu.[3]
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara spesifik hakikat olahraga adalah juga performa. Gambaran yang lebih spesifik pada olahraga menekankan aspek gerak manusia sebagai unsur utama dalam kegiatan yang cenderung fisik tersebut. Orientasi fisik atau jasmani dalam olahraga merupakan ciri yang utama, sehingga di dalamnya terdapat unsur gerak yang melibatkan daya tahan, kecepatan, kekuatan, kekuasaan, dan keterampilan itu sendiri. Orientasi fisik inilah yang kemudian menimbulkan kenyataan bahwa dibutuhkan alat-alat, seperti bola, raket dan yang menunjang olahraga sebagai aktivitas fisik atau jasmani tersebut. Meskipun begitu, hal ini tidak melepaskannya dengan aspek dorongan dalam diri manusia yang terkait dengan faktor sosial dan budaya, pengaruh suasana kejiwaan, dan motif kompetisinya.[3]
Ilmu keolahragaan juga berorientasi pada aspek pelaksanaan olahraga karena tanpa pelaksanaan olahraga hanyalah sebuah kegiatan imajiner. Di dalam pelaksanaannya, aspek pedagogis dan sosial menjadi sangat kuat. Itulah sebabnya selalu ada pelatihan sebelum keolahragaan dipraktikkan. Dalam proses itu ada unsur pendidik dan peserta didik bahkan juga ada unsur persaingan untuk menunjukkan ketangkasan atau kelebihan individu yang terlibat di dalamnya. Perilaku olahraga itu juga sering digambarkan sebagai sesuatu yang riil, bukan bersifat entertain. Pelaksanaan olahraga menciptakan jati diri seorang olahragawan atau atlet. Jati diri yang tidak semata-mata terpaku pada pokok peranan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan tugas gerak berupa teknik-teknik dasar tetapi juga kesadaran untuk melakukannya secara nyata tanpa berpura-pura. Dengan demikian, pada aspek pelaksanaan masalah-masalah kecurangan itu diantisipasi. Tidak ada praktik “main sabun” dalam olahraga. Misalnya, sepakbola yang skornya sudah ditentukan.[6]
Sekalipun demikian, unsur jiwa dan raga yang merupakan potensi dari dalam pelaku olahraga membuat olahraga cenderung berkembang dengan mudah. Proses pengembangan potensi mengandung makna sosial, artinya manusia tidak lagi memandang dirinya sebagai makhluk yang dapat berdiri sendiri, melainkan memerlukan manusia lain. Apabila proses tersebut dapat berjalan serasi dan optimal, baik jasmani maupun rohaninya (cipta, rasa, dan karsa), pada gilirannya olahraga akan berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, olahraga merupakan kebutuhan hidup manusia. Apabila seseorang melakukan olahraga dengan teratur, hal itu akan membawa pengaruh yang baik terhadap perkembangan jasmaninya. Olahraga dapat memberikan efisiensi kerja terhadap organ-organ tubuh sehingga peredaran darah, pernafasan, dan pencernaan menjadi teratur.[10]
Terkait dengan persoalan tubuh atau badan manusia yang menjadi landasan ilmu keolahragaan adalah bagaimana tubuh itu digerakkan. Gerak tubuh itu bukanlah sembarang gerak, tetapi gerak yang ditentukan sedemikian rupa untuk maksud-maksud yang lebih manusiawi, sehingga secara hakiki objek studi keolahragaan adalah fenomena ”gerak manusia”. Olahraga adalah bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik, dengan arah, tujuan, waktu, dan dilaksanakan sedemikian beragam. Gerak mencerminkan eskalasi kreativitas manusia karena dilakukan secara sadar dan untuk memenuhi motif-motif tertentu. Oleh karena itu, munculah pemahaman bahwa manusia harus menggerakkan dirinya secara sadar melalui pengalaman jasmani sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Realisasi keterampilan gerak tidak dapat dicapai dan dipisahkan dari konteks lingkungan sehingga terbentuk aneka respon yang dapat dihayati dengan berbagai macam makna.[11]
Dari hakikatnya, terlihat bahwa ilmu olahraga menekankan prinsip logis, sistematis, novelitas, praktis, ilmiah dan kejujuran.[12] Prinsip-prinsip yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Prinsip-prinsip yang menjauhkan keilmuan ini dari ketegangan-ketegangan yang membuatnya menjadi mudah disanggah kebenarannya. Dalam konteks ini, keilmuan olahraga menjadi bidang kajian yang kompleks dan multi dimensi sehingga pada dasarnya melibatkan diri manusia secara utuh dan membuka ruang kebersamaan yang dinamis terhadap perubahan sosial.[2]
Secara historis dan pada hakikatnya terlihat bahwa ilmu keolahragaan bersifat sistematis, terstruktur, multi dimensi dan kompleks. Meskipun begitu, kompleksitasnya tidak membuat ilmu ini tanpa batas sehingga terkesan menjadi kajian negativisme.[7] Sebagai sebuah disiplin ilmu, keolahragaan memiliki ruang lingkup yang menjadi landasan indiil pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik keolahragaan. Sesuatu yang sangat penting dan vital dalam ruang lingkup ilmu keolahragaan seperti halnya ilmu-ilmu lain seperti ilmu politik, kedokteran, sastra dan lainnya adalah bahwa ilmu keolahragaan menyajikan sistem penelitian ilmiah, pengajaran, latihan, dan integrasi konstruktif ilmu-ilmu lain di dalamnya.[4] Tentu saja, dasar-dasar orientasi teoritis-praktis dibangun sebagai syarat untuk dapat disebut sebagai ilmu mandiri.
Orientasinya dapat dikenali melalui motif sistem kerja ilmu keolahragaan yang bertujuan (1) Intelektual, yaitu memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebugaran, prestasi, kualitas manusia; (2) Emosional, yaitu menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportif dan disiplin; (3) Sosial, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan, memperkokoh nasionalisme, dan meningkatkan prestasi bangsa. Oleh karena itu, ruang lingkup ilmu keolahragaan ditentukan dari ketiga motif tersebut sehingga tampak kepermukaan tiga pilar keolahragaan sebagai bidang ilmu, yakni olahraga pendidikan, olahraga prestasi, dan olahraga rekreasi.[13] Ketiga pilar tersebut diinterpretasikan ke dalam pembinaan dan pengembangan olahraga secara sistematis, terstruktur dan berkelanjutan. Prosesnya dimulai dari pengenalan, pemahaman, penelusuran bakat, pengaderan, pemberdayaan, peningkatan prestasi, dan pencapaian prestasi.
Jika diuraikan secara terperinci, maka ruang lingkup dari ketiga pilar olahraga ditinjau berdasarkan motifnya ialah sebagai berikut:[5]
Ilmu keolahragaan sama seperti disiplin keilmuan lainnya bahwa ia memiliki bangunan struktur. Jika ilmu diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang tersusun dari batu atau unsur dasar dalam kehidupan manusia, maka untuk mengumpulkan batu itu diperlukan proses yang panjang mulai dari pengamatan, penelitian dan pengaplikasian batu tersebut ke dalam bangunan yang ada. Demikian halnya dengan ilmu keolahragaan, ada struktur yang membuatnya menjadi kajian ilmiah. Sehubungan dengan struktur tersebut, dalam kajian ilmu keolahragaan terdapat tujuh bidang teori. Ketujuh bidang teori yang dimaksud adalah sebagai berikut[10]:
Secara metodologis, ilmu keolahragaan mengupayakan sebuah kebenaran ilmiah yang sistematis dan terstruktur melalui pencarian dan penemuan sekumpulan data yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan ilmiah dalam suatu rangkaian proses penelitian.[14] Sebagai disiplin ilmu yang berdiri, secara hakiki ilmu keolahragaan didukung dengan kajian ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Tujuannya ialah ilmu keolahragaan memberi manfaat, baik bagi pribadi studinya sendiri maupun bidang studi yang lainnya sehingga menimbulkan relasi yang baik untuk terus mengekspolrasi eksistensinya. Kajian ontologi ditempuh untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya keunikan menjadi objek dalam studi ilmu keolahragaan sehingga tidak dikaji oleh disiplin ilmu lainnya. Lalu, kajian epistemologi dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara dan sistem kajian yang digunakan untuk mengembangkan studi ilmu keolahragaan. Sementara itu, kajian aksiologi dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa sebenarnya nilai-nilai yang diberikan oleh studi ilmu keolahragaan bagi kemaslahatan hidup umat manusia.[8]
Asas untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu turut diperhatikan dalam studi ilmu keolahragaan. Hal itu terlihat dengan jelasnya objek dalam studi ini. Ketiga kajian tersebut menunjukkan bahwa studi ilmu keolahragaan memiliki objek dalam rangka mengeksplorasi bidang keilmuannya. Dengan objek-objek yang dimaksud, maka kajian ilmu keolahragaan menjadi sangat kompleks karena di dalam obkjek-objek tersebut terkandung dimensi biologis, psikologis, budaya, dan antropologis. Jadi, studi ilmu keolahragaan tidak hanya menyoal serangkaian aktivitas jasmani yang luas dan dilakukan oleh manusia. Kajian ilmu keolahragaan menjadi begitu kompleks ketika berbagai aktivitas jasmani tersebut dikorelasikan dan dikomunikasikan dengan aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa melalui perangkat penelitian ilmiah.[7] Untuk mendapatkan data atau hasil yang benar, maka diperlukan pendekatan-pendekatan yang di dalamnya memiliki aturan-aturan tertentu, kesesuaian dan keterbukaan untuk memilih penelitian seperti apa yang akan dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan tentunya memiliki manfaat.
Di dalam pemenuhan menyajikan sebuah kebenaran ilmiah yang sistematis dan terstruktur, terdapat empat pendekatan kajian yang digunakan dalam ilmu keolahragaan. Pertama, pendekatan multi-disiplin. Pendekatan multi-disiplin merupakan pendekatan yang membuat berbagai disiplin ilmu dengan perspektifnya masing-masing tanpa kesatuan konsep mengkaji fenomena keolahragaan. Kedua, pendekatan inter-disiplin. Pendekatan interdisiplin merupakan pendekatan yang memberi ruang bagi dua atau lebih disiplin ilmu berinteraksi dalam bentuk komunikasi ide atau konsep yang kemudian dipadukan untuk mengkaji fenomena keolahragaan. Ketiga, pendekatan lintas-disiplin. Pendekatan lintas-disiplin merupakan pendekatan yang mengupayakan aspek-aspek yang ada dalam fenomena keolahragaan menjadi pusat orientasi penyusunan konsep secara terpadu dengan menggunakan beberapa teori-teori dari disiplin ilmu lain yang relevan sehingga batas-batas disiplin ilmu sumbernya menjadi tersamarkan atau tidak kelihatan. Keempat, pendekatan trans-disiplin. Pendekatan trans-disiplin merupakan pendekatan yang relatif baru dalam pengembangan ilmu keolahragaan, karena di dalam pendekatan ini studi ilmu keolahragaan betul-betul mengembangkan metode, teknik, atau cara-cara yang telah lazim digunakan oleh disiplin ilmu terdahulu.[13]
Sementara itu dalam rangka mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk mencapai penelitian ilmiah, terdapat tiga pendekatan dalam penelitian keolahragaan. Pertama, pendekatan positivistik-empirik. Pendekatan positivistik-empirik menekankan pada data empirik hasil observasi dengan menggunakan instrumen tertentu, dan dalam posisi terpisah antara peneliti dengan objek yang diteliti. Kedua, pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis menekankan pada pengungkapan fenomena empirik melalui pengamatan langsung yang kemudian ditafsirkan dan diberi makna. Ketiga, pendekatan hermeneutik. Pendekatan hermeneutik menekankan pada pemaparan pengetahuan berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas objek kajian dengan menggunakan teori yang sudah ada.[13]
Pendekatan kajian dan pendekatan pengumpulan data tersebut menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dan aplikasinya dalam bentuk aktivitas keolahragaan ternyata memiliki nilai-nilai positif yang berkaitan dengan sajian kebenaran ilmiah melalui realitas kehidupan individu maupun masyarakat luas secara universal.[15] Hal ini membuat ilmu keolahragaan memiliki nilai tersendiri. Tidak hanya nilai kebaruan tetapi juga nilai keunikan. Nilai-nilai ini berpotensi untuk memberikan sumbangan dalam membentuk pengetahuan masyarakat dan umat manusia semakin luas dan yang lebih bersifat sektoral memiliki nilai-nilai dapat menyumbang terbentuknya dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa.
Kajian dan data yang dikumpulkan tersebut didukung dengan dua metode penelitian yang digunakan secara umum dalam studi-studi keilmuan lainnya dalam pendidikan, yakni pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Data-data keolahragaan yang dicari dan ditemukan melalui pendekatan kuantitatif maka akan menghasilkan sejumlah data kuantitatif yang wujudnya berupa angka-angka (numerikal). Sementara data-data keolahragaan yang dicari dan ditemukan melalui suatu pendekatan kualitatif, maka akan menghasilkan sejumlah data kualitatif yang wujudnya biasanya berupa narasi-narasi teks.[16]
Profesi keahlian dibutuhkan tidak hanya secara individual tetapi juga untuk menunjukkan jati diri dari bidang ilmu yang menjadi orientasi pendidikannya.[17] Profesi selalu mencakup bidang pekerjaan yang menuntut kemampuan dan keterampilan. Istilah profesi keahlian adalah mengacu pada individu atau siapa saja yang melalui orientasi pendidikannya memperoleh pekerjaan dan nafkah serta melakoninya dengan terampil dan penuh dedikasi. Oleh karena itu, akan ada standar dalam sebuah profesi karena sisi profesionalisme yang melekat di dalamnya. Olahraga sebagai disiplin keilmuan juga mencetak nara didiknya untuk meningkatkan kapasitas kehidupan individualnya sehingga disiplin keilmuan ini mewujud ke dalam profesi keahlian yang relevan bagi para nara didiknya. Secara umum teradapat tiga basis bidang profesi keahlian dalam ilmu keolahragaan[18]:
Tiga basis profesi keahlian ilmu keolahragaan ini kemudian digolongkan ke dalam jenis-jenis profesi keahlian yang membuka peluang karir yang besar dan relevan dalam kehidupan. Adapun jenis-jenis profesi keahlian dari keilmuan olahraga ialah sebagai berikut[19]:
Sebagaimana profesi keahlian pada umumnya, dalam ilmu keolahragaan profesi-profesi tersebut didukung dengan karakteristik seorang yang memiliki semangat profesionalitas. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:[20]
Ilmu keolahragaan telah menyentuh ranah profesionalisme dalam kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa studi kelahragaan telah menjadi bagian penting di dalam kehidupan manusia. Saat ini olahraga telah berkembang di semua lapisan masyarakat sebagai bagian dari budaya manusia. Olahraga tidak hanya dikenal sebagai sebuah aktivitas fisik melainkan kegiatan ilmiah yang terbuka bagi semua orang sesuai dengan kemampuan, kesenangan dan kesempatan, tanpa membedakan hak, status, sosial, budaya, atau derajat di masyarakat. Melalui profesi keahlian, siapapun dapat meningkatkan kesempatan yang ideal untuk menyalurkan energi positif dalam lingkungan untuk meningkatkan taraf hidup dan menciptakan persatuan yang sehat, suasana yang akrab dan gembira dengan semangat profesionalitas yang bertanggungjawab.