Kerajaan Mempawah کراجاءن ممڤاوه | |
---|---|
1740–1956 | |
Ibu kota | Mempawah |
Bahasa yang umum digunakan | Melayu (dominan), Dayak |
Agama | Dari Hindu berpindah ke Islam |
Pemerintahan | Monarki |
Panembahan | |
• 1740–1761 | Pangeran Mas Surya Negara |
• 1902–1943 | Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin |
• 1946-1956 | Panembahan Muda Gusti Mustaan |
• 2002-Sekarang | Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim |
Sejarah | |
• Berkembangnya Islam | 1740 |
1944 | |
• Pembubaran Daerah Istimewa Kalimantan Barat | 1956 |
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kerajaan Panembahan Mempawah adalah sebuah kerajaan Islam yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Indonesia.[1] Nama Mempawah diambil dari istilah "Mempauh", yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah.[2] Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu kerajaan/kesultanan yang berkembang di Kalimantan Barat.[1] Riwayat pemerintahan yang pernah ada atau mencakup wilayah Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan lokal (pada wilayah terbatas) Suku Dayak kemudian pada masa Islam (kesultanan) yang wilayahnya mencakup seluruh kabupaten Mempawah sekarang yang mana dua politi ini berdiri secara asing dan sendiri-sendiri (tidak berkelanjutan).[1]
Cikal-bakal pemerintahan di wilayah Mempawah di Kalimantan Barat terdiri atas beberapa riwayat politi, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Rajangkng.[3] Kerajaan Bangkule merupakan kerajaan orang-orang Suku Dayak yang berdasarkan cerita lisan didirikan oleh Ne`Rumaga di sebuah tempat yang bernama Bahana.[3]
Pemerintahan Suku Dayak yang juga dipimpin oleh Patih Gumantar ini adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan dikatakan sudah ada sejak sekitar tahun 1380 Masehi.[4] Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan kawasan Sadaniang, di daerah Sangking, Mempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang.[4]
Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman.[2] Salah satunya adalah serangan dari Kerajaan Suku Biaju.[2] Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal kepala atau perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar.[2] Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir.[1] Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang bernama Patih Nyabakng.[1] Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di Sungai Raya Negeri Sambas.[1] Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng, riwayat Kerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.[4]
Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru.[4] Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar.[4] Dan sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung.[4] Raja Kudung kemudian mendirikan pusat pemerintahannya di Pekana.[4]
Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana.[4] Penerus pemerintahan Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M.[2] Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai Mempawah wilayah politi pemerintahan Panembahan Senggaok dan Bangkule Rajangkng sendiri hanyalah dibagian hulu Mempawah yang pada masa ini hanyalah mencakup wilayah Sadaniang, Toho dan wilayah Mempawah Hulu sedangkan wilayah hilir dan lepas pantai selalu berada dalam kekuasaan Kerajaan Matan.[2] Panembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati namun nama Utin Indrawati sendiri adalah nama yang didapat ketika beliau menikah ke istana Matan dan masuk Islam, nama sebelum menikahnya tidak diketahui.[2] Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan Tanjungpura.[3] Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba yang tumbuh di Kerajaan Matan.[4] Puteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.[1]
Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan.[5] Ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu Tendriburang Dilaga, yang melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri di tanah Melayu.[5] Opu Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat, Raja Bugis pertama yang memeluk Islam.[5] Opu Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang putera yang diajak berkelana ke tanah Melayu.[6] Kelima anak Opu Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Chelak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi.[6] Kedatangan mereka ke tanah Melayu menjadi salah satu babak migrasi orang- orang Bugis yang terjadi pada abad ke-17 (Andi Ima Kesuma, 2004296).[3] Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak lelakinya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran agama Islam.[3]
Kedatangan Opu Daeng Menambun ke Kalimantan sebenamya atas permintaan Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724 M), untuk merebut kembali tahta Kesultanan Matan yang diambil-paksa oleh Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin.[4] Opu Daeng Menambun bersaudara, yang saat itu sedang berada di Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di sana, segera berangkat ke Tanjungpura.[6] Atas bantuan Opu Daeng Menambun bersaudara, tahta Sultan Muhammad Zainuddin dapat diselamatkan.[6] Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan dengan Ratu Kesumba, puteri Sultan Muhammad Zainuddin.[4] Tidak lama kemudian, Opu Daeng Menambun bersaudara kembali ke Kesultanan Johor.[4]
Sepeninggal Opu Daeng Menambun bersaudara, pergolakan internal terjadi lagi di Kesultanan Matan.[4] Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Matan jika kelak ayah mereka wafat.[4]Sultan Muhammad Zainuddin kembali meminta bantuan Opu Daeng Menambun yang sudah kembali ke Johor.[4]Opu Daeng Menambun memenuhi permintaan Sultan Muhammad Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk yang kedua kalinya, sedangkan keempat saudaranya tidak ikut serta karena tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu Kesultanan Johor.[4]
Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera diselesaikan dengan cara damai.[1] Atas jasa Opu Daeng Menambun itu, Sultan Muhammad Zainuddin berkenan menganugerahi Opu Daeng Menambun dengan gelar kehormatan Pangeran Mas Suna Negara.[1] Opu Daeng Menambun sendiri memutuskan untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya, dan mereka dikaruniai beberapa orang anak, yang masing-masing bernama "Puteri Candramidi", "Gusti Jamiril", "Syarif Ahmad", "Syarif Abubakar", "Syarif Alwie", dan "Syarif Muhammad".[1]
Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan Kesultanan Matan adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin.[3] Sementara itu, di Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada tahun 1737 M.[3] Karena Panembahan Senggaok tidak mempunyai putera, maka wilayah yang berada dalam kekuasaan Panembahan Senggaok diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang tidak lain cucu Panembahan Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin.[3] Namun, setahun kemudian atau pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad Muazzuddin pun mangkat dan digantikan puteranya yang bernama Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung bergelar Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang ke-3.[3]
Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang pertama.[3] Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun.[3] Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan.[4] Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan.[4]Opu Daeng Menambun memindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum pedagang.[4]
Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun semakin kental berkat peran Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan.[7] Husein Alqadrie sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai hakim utama di Kesultanan Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin.[1] Husein Alqadne dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua (Alqadrie, 2005.[1] Di Kesultanan Matan, Husein Alqadrie mengabdi sampai pada pemerintahan sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin, yang menggantikan Sultan Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M.[8] Namun, pada tahun 1755 M, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang penerapan hukuman mati.[8]
Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Husein Alqadrie untuk tinggal di Mempawah.[8] Tawaran itu disambut baik oleh Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng Menambun.[8] Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih sekaligus imam besar Mempawah.[8] Selain itu, Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam.[8] Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi.[8] Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak.[4]
Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambon wafat dan dimakamkan di Sebukit Rama.[4] Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusumajaya.[4] Di bawah kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan yang ramai.[4]
Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M, terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin Panembahan Adiwijaya.[4]Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah.[4]Panembahan Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur siasat.[4] Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan balasan.[1] Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.[1]
Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah.[1] Akibatnya, peperangan kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang tionghoa yang ada di Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku Dayak dan Kesultanan Singkawang.[1] Namun, karena Kesultanan Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami kekalahan dalam perang tersebut.[1]
Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah dengan gelar Panembahan Mempawah.[8] Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim, sebenamya tidak menyetujui pengangkatan itu karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat ikatan kekerabatan yang erat.[9] Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon.[9] Pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787.[9]
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat.[4]Belanda kemudian menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[4] Kedudukan Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein.[4] Namun, kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota, Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas.[4] Ketika akhimya Belanda berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan Mempawah.[4]Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[2]
Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.[2] Gusti Mas tetap setia mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat Mempawah.[2] Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman.[2] Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat.[2] Melihat Kesultanan Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik.[2] Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah lengah.[2]
Taktik Belanda berhasil.[2] Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau Pedalaman.[2] Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah.[2] Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan.[2] Serangan balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan.[2] Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah.[2]
Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin yang bernama Gusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin.[10] Pada tahun 1831 itu, Kesultanan Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda.[2] Sejak itu, setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur oleh Belanda.[2] Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-aturan buatan Belanda.[2]
Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839, Belanda menobatkan Gusti Mukmin menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma.[2] Selanjutnya, pada tahun 1858, Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin.[2] Pada tahun 1858 itu telah diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah.[2] Dari tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan. Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk sementara.[3] Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud.[3]
Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat sebagai penggantinya.[10] Oleh karena itu, yang dinobatkan selaku pemangku adat Kesultanan Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak perempuan Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin.[10] Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin sendiri baru naik tahta pada tahun 1902.[2] Sultan ini membangun Istana Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922.[2] Pemerintahan Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin masih berlangsung hingga kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.[2]
Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Mempawah.[2] Pada tahun 1944, Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin ditawan tentara Jepang hingga akhir hayatnya. Hingga kini, jasad ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin belum ditemukan.[2] Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim, belum dewasa, maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil Panembahan Kesultanan Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955.[4] Namun, waktu itu Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi Sultan Mempawah karena masih ingin menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta.[4] Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah terakhir adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin.[4]
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah.[1] Hal itu terjadi juga di Kalimantan Barat, dengan terbentuknya Republik Indonesia, segala wewenang yang pernah dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan Melayu-Bugis, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah.[1] Karena telah bergabung dan menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan lagi secara politik.[1]
Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini.[1] Pada tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Kesultanan Mempawah.[1]
Silsilah orang yang pernah berkuasa pada wilayah mempawah, antara lain:[1]
Kekuasaan pemerintahan politi masyarakat Dayak terletak pada bagian hulu yang mencakup kecamatan Sadaniang, Toho, dan kecamatan Mempawah Hulu yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Landak.
Pada masa Kesultananlah wilayah Mempawah yang ada pada saat ini wujud, dari yang sebelumnya wilayah hilir yang mencakup wilayah lepas pantai yang merupakan wilayah dalam kekuasaan Matan dan wilayah hulu yang berada dalam wilayah Panembahan Senggaok kemudian bersatu membentuk wilayah Kesultanan Mempawah.
Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat.[1] Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayah Mempawah Hulu atau Mempawah Hilir yang kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.[1] Beberapa tempat yang pemah menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Mempawah tersebut antara lain Bahana, Sidiniang (Sangking), Pekana (Karangan), Senggaok, Sebukit Rama, Kuala Mempawah (Galah Herang), Sunga, dan Pulau Pedalaman.[1]