Kerajaan Kepangeranan Kotawaringin (Kesultanan Kutaringin)[1] adalah sebuah kerajaan kepangeranan yang merupakan cabang keturunan Kesultanan Banjar dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615[2] atau tahun 1619.[3][4] atau 1530,[5] dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja[6] sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".[7][8][9]
Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).
Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan" karena kedudukannya sejajar dengan Sultan Muda/Pangeran Mahkota di Kesultanan Banjar.[11]
Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai.[12]
Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Tanah Biaju kemudian setelah tahun 1800 diubah menjadi Tanah Dayak serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya.[13] Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin.[14] Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan Sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.[15]
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribu kota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana (Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak JanggalaRajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin di mana dia sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Dia kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaring bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang MantriKahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.
Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibu kota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat di mana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi di mana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena dia sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Selama 35 tahun pemerintahan Kiai Gede, saat itu pula kedatangan Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini dia tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka.[13] Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, di mana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut.[16] Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin di mana Kiai Gede mengiktirafkan dia sebagai raja dan dia sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura,[17] Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa[13] (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa[12] yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).[12]
Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan.[12] Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini.[13] Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju).[12]
Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi, leluhur Sultan Sumbawa) dan Raja Itam, Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua dia menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena dia berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan abangnya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia [12] tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Dia juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Dia telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Dia meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.[13]
Ibu kota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibu kota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.[18]
Pada tanggal 14 Januari1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.[19]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibu kota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.[18]
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu:
Kabupaten Kotawaringin Barat
Kabupaten Lamandau
Kabupaten Sukamara
Pusaka kerajaan Kotawaringin:
Si Rampangan Kurung, berupa tombak bernata tiga
Canga, berupa tombak bermata dua
Jimat Sarosa
Tanda Jalop
Berdasarkan CONTRACT MET DEN SULTAN VAN BANDJERMASIN 4 Mei 1826. / B 29 September 1826 No. 10, yang dibuat Sultan Adam dari Banjar dengan pihak kolonial Belanda, wilayah Kutaringin atau Kotawaringin diserahkan kepada pihak kolonila Hindia Belanda.[20]
Perkara 4:
Sri Paduka Sultan Adam salinkan kepada radja dari Nederland segala negeri jang tersebut di bawah ini : Pulau Tatas dan Kuin sampai di subarang kiri Antasan Ketjil dan pulau Burung mulai dari kuala Bandjar subarang kanan sampai di Pantuil dan di Pantuil subarang pulau Tatas lantas ke timur Rantau Kuliling dengan segala sungai2nja Kelajan Ketjil Kelajan Besar dan kampung jang di subarang pulau Tatas sampai di sungai Messa di ulu kampung Tjina lantas ke darat sampai di sungai Baru sampai di sungai Lumbah dan pulau Bakumpai mulai dari kuala Bandjar subarang kiri mudik sampai di kuala Andjaman di kiri milir sampai kuala Lopak dan segala tanah Dusun semuanja desa2 kiri kanan mudik ka ulu mulai Mengkatip sampai terus negeri Siang dan di ilir sampai di kuala Marabahan dan tanah Dajak Besar-Ketjil dengan semuanja desa2nja kiri kanan mulai di kuala Dajak mudik ka ulu sampai terus ke ilir sungai Dajak dengan segala tanah di daratan jang takluk padanja dan tanah Mendawai Sampit Pembuang semuanja desa2nja dengan segala tanah jang takluk padanja dan tanah Kutaringin Sintang Lawey Djelei semuanja desa2nja dengan segala tanah jang takluk padanja. Dan Taboniou dan segala tanah Laut sampai di Tandjung Silatan dan ke timur sampai watas dengan Pagatan dan ka oetara sampai di kuala Maluka mudik sungai Maluka Selingsing Lijang Anggang Banju Irang lantas ke timur sampai di gunung Pamaton sampai watas dengan tanah Pagatan dan negeri jang di pasisir timur Pagatan Pulau Laut Batu Litjin Pasir Kutai Barau semuanja dengan tanah2 jang takluk padanja.
Kotawaringin termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.
[21]
Putri Huripan x Raja Negara Dipa V: Maharaja Suryaganggawangsa bin Raja Negara Dipa IV: Maharaja Suryanata (suami dari Raja Negara Dipa III: Puteri Junjung Buih)
↓ (berputra)
Putri Kalarang (cucu Puteri Junjung Buih) x Pangeran Suryawangsa (adik Maharaja Suryaganggawangsa )
↓ (berputra)
Raja Negara Dipa VI: Maharaja Carang Lalean (cucu Puteri Junjung Buih) x Raja Negara Dipa VII: Putri Kalungsu (adik Putri Kalarang)
Raden Buyut Kasuma Banjar x Gusti Cabang binti Pangeran Dipati Wiranata/Raden Balah
Putri Piting (anak Gusti Cabang)
Dayang Gelang/Putri Gelang (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding x Raden Saradewa/Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din dari Kerajaan Sukadana
Raden Buyut Kasuma Matan (anak Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din)
Raden Pamadi (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding) x Putri Intan binti Pangeran Singasari/Raden Timbako
Raden Pati
Raden Nating (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
Raden Tuan (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
Gusti Tanya (ibu Raden Jayengrana) x Raden Tukang bin Panembahan Di Darat
Pangeran Ratu Kotawaringin III: Panembahan Kota Waringin x Putri Nurmalasari binti Sultan Tahlillullah dari Banjar
↓
Pangeran Ratu Kotawaringin IV: Pangeran Prabu Tua x Putri Jumantan
↓
Pangeran Ratu Kotawaringin V: Pangeran Dipati Tuha
↓
Pangeran Ratu Kotawaringin VI: Pangeran Panghulu x Putri Ratu Mangkurat binti Pangeran Purbaya bin Pangeran......bin Sultan Tamjidillah 1
↓
Pangeran Ratu Kotawaringin VII: Ratu Bagawan Muda/Sultan Balladuddin x Putri Amaliah
↓
Pangeran Ratu Kotawaringin VIII: Pangeran Ratu Kesuma Yuda Tuha/Gusti Musaddam x Putri Nursani
↓
Pangeran Ratu Kotawaringin IX: Pangeran Ratu Imanuddin berisitrikan 3 orang yaitu
Ratu Ayu (Istri Pertama) binti Pangeran Dipati Tapa Laksana Berputerakan:
Pangeran Ratu Hermansyah ( Raja Kotawaringin Ke X) beristerikan Ratu Ayu atau Ratu Puteri Kemalasari) berputerakan 7 orang:
Pangeran Gentjana
Pangeran Akhmad Kesuma Putera
Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda (Raja Kotawaringin Ke XI).
Pangeran Muhammad
Pangeran Ratu Mangku
Pangeran Nata
Pangeran Bungsu
Tengku Dara ( Istri Kedua ) (Puteri anak Sultan Mansyur dari kerajaan Siak / Sultan Ismail bin raja buang, Indrapura) berputerakan 5 orang:
Pangeran Tumenggung Cakraningrat
Ratu Gentjana ( istri Pangeran Gentjana)
Ratu Agung
Ratu Muhammmad
Pangeran Tumenggung
Ratu Nyai Djaminar (Ratu Ratnawilis Binti Dambung Raksa Mancanegara (Istri Ketiga; dari Kahayan) berputerakan:
Pangeran Ratu Sukma Negara
Ratu Amas
Pangeran Ratu Kotawaringin X: Pangeran Ratu Achmad Hermansyah bin Pangeran Ratu Imanuddin, berputerakan 7 orang:
Pangeran Gentjana
Pangeran Tjitra ( Citra )
Gusti Abu Bakar
Utin Taesah
Gusti Usman
Gusti Sa'adilah
Utin Fatmah
Gusti Mailan
Gusti Gumat ( Wafat )
Gusti samil
Utin Talmah
Gusti Aqil
Haji Gusti Umar
Utin Japun
Gusti Ali
Gusti Mamun'nurasyid
Gusti Yusransyah ( Iyas )
Utin Halimatusyadi'ah ( Atul )
Gusti Saberan ( Tuyan )
Utin Salmah ( Amah )
Mas Mardani ( Dhani )
Mas Dina Mariana ( Dina ).
Mas'suud ( Su'ud )
Mas Marjan Dinata ( Marjan )
Mas Taniah ( Chataniah ).
Gusti Musa
Utin Nurkanzah
Utin Iyut
Utin Amnah
Mas Dulhak
Gusti Badrun
Evo
Amat
Diang
Suhuy
Dede
Mas Eren
Mas Hudin
Mas Ani
Gusti Abdul Kadir
Gusti Abubakar
Gusti Umui
Pangeran Akhmad Kesuma Putera
Pangeran Muhammad
Pangeran Ratu Mangku
Pangeran Nata
Pangeran Bungsu Kesuma
Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda ( Gusti Muhammad Sanusi atau Gusti Anum Kesuma Yuda)- Raja Kotawaringin Ke XI
Ratu Intan (Ratu Prabu)
Ratu Kuning
Pangeran Hermansyah
Pangeran Ratu Kotawaringin XI: Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda (tidak memiliki anak laki-laki, sehingga digantikan oleh pamannya (mangkubumi kerajaan) sebagai tutus raja yang lebih senior: Pangeran Ratu Sukma Negara bin Pangeran Ratu Imanuddin.[53]
Pangeran Ratu Kotawaringin XII: Pangeran Ratu Sukma Negara x Ratu Sori Pakunegara Binti Pangeran Dipati Anta Kesuma (Gusti Maleh)[53][54]
Pangeran Kalana Perabu Wijaya (Gusti Muhammad Saleh) Perdipati/Mangkubumi x Nyai Norisah Binti Kiyai Mas Imam
Gusti Samil
Utin Dewi
Pangeran Aria Ningrat
Pangeran Djaja Ningrat
Utin Aban
Gusti Karamah
Pangeran Surya Anas x Putri Margasari (Ratu Surya)
Putri Asjifah Indera Majelis x Said Abubakar ( Kumain )
Putri Asripinoor ( tidak bersuami )
Gusti Mansyur Alam ( tidak beristeri )
Gusti Mashuri x Halimah Bakri
Gusti Mastandarmansyah (Gusti Doemay) x Raden Roro Karyatun binti Rd. Soebroto
Gusti Masuril Huda (Gusti Mashuda) x Gusti Normasari binti Gusti Achmad bin Gusti Abdul Gani bin Gusti Kusin (Kandangan) (anak : 1.Gusti M. Zaril x Welyana = 1. Gusti Akhmad Surya x Rissa Sekar Padmadani = Gusti Norma Syifa Sari, Gusti Norma Silwa Sari, Gusti Khansa Humaira, Gusti Maryam, Gusti Aisyah; 2. Utin Mirna Putri Margasari x Nurul Huda; 3. Gusti Ashari Wira Satya)
Putri Maminang (tidak bersuami)
Pangeran Panghulu (Gusti Muhammad Zein)?
Utin Sari Banun
Utin Aprah
Gusti Bardat
Utin Masnul
Pangeran Kasuma Alam/Pangeran Bagawan Kesuma Alam x Gusti Hasanah binti Pangeran Soeria WinataRegent Martapura 1860
Ratu Sori (Ratu Kraton ?, Putri Kotawaringin ) x Pangeran Indra bin Muhammad
Pangeran Iman Adam ( tidak punya isteri )
Putri Banjar Mas ( Ratu Sunding Anum ) x Gusti Abdul Samad Martapura
Putri Karangan Intan ( Ratu Aria Nigrat) x Pangeran Aria Ningrat Kotawaringin
Putri Kencana ( Ratu Jayaningrat ) x Pangeran Djayaningrat Kotawaringin
Putri Margasari ( Ratu Surya ) x Pangeran Surya Anas
Putri Sembaga Ulan ( tidak Punya Suami )
Pangeran Ratu Kotawaringin XIII: Pangeran Ratu Syukma Alam Syah x Ratu Seri Mahkota (Antung Dinar) binti Raden Barangta Districvcheerf Martapura
↓ (berputra)
Pangeran Ratu Kotawaringin XIV: Pangeran Ratu Kesuma Anum Alamsyah x Ratu Kemalasari binti GPH Purbodiningrat bin Pakubuwana IX
↓ (berputra)
Ratu Nur Ediningsih
Pangeran Arsyadinsyah
Pangeran Muazadinsyah
Pangeran Nuraruddinsyah
Pangeran Abidinsyah
Ratu Nur’aini
Ratu Nur Maulidinsyah
Ratu Saptinah
Pangeran Ratu Kotawaringin XV: Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah[55]
^ abcdeJ. Pijnappel Gzn; Beschrijving van het Westeli jike gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo (disimpul daripada empat laporan oleh Von Gaffron, 1953, BK 17 (1860), hlm 267 ff.
^Hikayat Banjar hlm 347: "Sudah kemudian itu maka anak Ratu Bagus di Sukadana, namanya Raden Saradewa itu, diperisterikan lawan Putri Gilang, anak Pangeran Dipati Anta-Kasuma itu.........sudah itu maka pangandika Marhum Panambahan, semasa ini anak Dipati Sukadana itu tiada lagi kupintai upati lagi seperti tatkala zaman dahulu itu. Sekaliannya upati Sukadana itu sudah kuberikan arah cucuku Si Dayang Gilang itu, jikalau ia beranak sampai kepada anak-cucunya itu. Hanya kalau ada barang kehendakku itu, aku menyuruh"....
^(Belanda)Staatsblad van Nederlandisch Indië. Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie. 27 Agustus 1849. hlm. 2.Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
^Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1245-1257, ISBN 3-598-21545-2.
^(Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1862). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 11. Lange & Co. hlm. 49.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
J. Pijnappel Gzn; Beschrijving van het Westeli jike gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo (disimpul daripada empat laporan oleh Von Gaffron,1953,BK 17 (1860) hlm 267 ff.
Hikayat Banjar dan Kotaringin, naskah ini berasal dari Koleksi Perpustakaan Nasional RI dengan kode penyimpanan ML – 48. Naskah ini pun kemudian dialihaksarakan oleh Tim dari Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, diterbitkan oleh Dirjend. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1993.
Ras.J.J., Hikajat Bandjar; A Study in Malay Historiography. Leiden: KITLV- The Hague-Martinus Nijhoff, 1968. Sebuah studi dari Prof. J.J.Ras terntang manuskrip Hikajat Bandjar yang berada di Negeri Belanda.
J. Lontaan dan Gm. Sanusi, Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat. Kotawaringin Barat: Pemda Dati II Kotawaringin Barat, 1976.
Silsilah Kekerabatan Kerajaan / Kesultanan Kutaringin di Pangkalan Buun, dari Kesultanan I sampai dengan XIV, Pangkalan Buun: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, 2009.